Monday, June 10, 2013

Tempointeraktif.com - WALHI Unjuk Rasa Tolak Perdagangan Karbon

Selasa, 23 Oktober 2007.





WALHI Unjuk Rasa Tolak Perdagangan Karbon

Selasa, 23 Oktober 2007 | 13:22 WIB

TEMPO Interaktif, Denpasar:Puluhan aktivis Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Bali menggelar aksi unjuk rasa pada Selasa (23/10) di Denpasar, Bali.



Mereka menentang mekanisme perdagangan karbon yang bakal dibicarakan di Konvensi Perubahan Iklim (KPI) di Nusa Dua Desember mendatang. Mekanisme untuk mengatasi perubahan iklim itu dinilai hanya melanjutkan kecurangan negara-negara maju.



Aksi teaterikal dilakukan dengan menunjukkan seorang pengusaha yang menawarkan pundi-pundi dolar. Kompensasinya, sejumlah orang miskin diminta merawat hutan. Tapi si miskin menolak dengan menunjukkan poster " Hutan Kami Tidak untuk Dijual" Sebuah spanduk besar dibentangkan bertuliskan, " Hutan Kami Bukan Toilet Karbon Negara Maju".



Menurut Koordinator Daerah WALHI Bali Sri Widihiyanti, langkah yang mesti dilakukan adalah mendesak negara-negara maju untuk mengurangi emisi karbondioksida.

"Kenyataannya Amerika Serikat dan Australia terus menentang dan kemudian mereka menawarkan cara ini," tegasnya.



Tanpa komitmen itu, kata Sri, perdagangan karbon tidak akan berguna untuk menurunkan iklim global yang kini telah mencapai 0,6 derajat Celcius. Sebab, 85 % emisi total dunia berasal dari negara-negara maju.



Mekanisme perdagangan karbon juga akan merugikan kalangan masyarakat adat karena hak mereka atas pengelolaan hutan akan dirampas. Konflik antara mereka dengan pemerintah pun akan sangat rentan terjadi. Di sisi lain, dia khawatir hasil dari perdagangan karbon itu hanya akan menjadi lahan korupsi baru.



Kerena itu, WALHI meminta pemerintah Indonesia sebagai tuan rumah KPI untuk memimpin negara berkembang menolak mekanisme itu dan menegoisasikan kembali posisi tawar dalam mengatasi perubahan iklim.



WALHI, kata Sri, sangat menyesalkan bila pemerintah Indonesia melanjutkan rencana untuk menjual hutan tropis Indonesia yang seluas 91 juta hektar untuk penyerapan karbon dengan harga 5-20 dolar. "Itu tidak sebanding dengan bencana ekologis yang telah dan akan kita alami mestinya Negara maju memberikan kompensasi atas semua bencana itu," tegasnya.



Rofiqi Hasan









INDEKS BERITA LAINNYA :