Saturday, June 8, 2013

KoranTempo - Esensi Pembangunan Manusia Indonesia

Senin, 26 Juli 2004.

Esensi Pembangunan Manusia IndonesiaMar'ie MuhammadMantan Menteri Keuangan



Orientasi dan titik sentral pembangunan yang hanya bertujuan mengejar pertumbuhan ekonomi tidak lagi dijadikan model pembangunan, meskipun pertumbuhan ekonomi mempunyai peranan yang penting sebagai salah satu ukuran kemajuan suatu negara.



Pertumbuhan ekonomi saja jauh dari mencukupi guna mengukur tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Ia merupakan hasil dari berbagai kegiatan ekonomi: produksi, konsumsi, investasi, perdagangan dalam dan luar negeri, serta berbagai aktivitas ekonomi lainnya. Makin besar dan bervariasi kegiatan ekonomi pada suatu masyarakat, tentu hal itu baik karena ia akan menciptakan lapangan kerja. Lapangan kerja akan memberi penghasilan dan dengan penghasilan itu seseorang beserta keluarganya memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama kebutuhan dasar: pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan.



Berbagai model dan formula telah dikembangkan untuk mengukur tingkat pembangunan manusia. Mengukur tingkat kesejahteraan rakyat sungguh pelik, karena tidak jarang kita dihadapkan pada kenyataan-kenyataan yang menyesatkan. Ambil sebagai contoh, para pembaca, sebuah keluarga yang tampak sangat sejahtera secara kasatmata.



Rumahnya besar dan mewah, bahkan dilengkapi dengan kolam renang. Mobil mewah berderet-deret di garasi, AC mendinginkan seantero rumah. Makanan dan minuman apa pun tersedia tinggal minta kepada para pelayan yang siap menyediakannya. Jalan-jalan keluar negeri tidak menjadi soal, tinggal menentukan tujuan perjalanan.



Akhir minggu dapat tamasya ke mana pun dan tentu menginap di hotel-hotel kelas wahid. Malam-malam bosan di rumah, tinggal memilih restoran dan kafe yang harganya aduhai dan katanya harga yang mahal ini guna membeli suasana. Alhasil, inilah kehidupan yang serba mewah dan sudah tidak tahu mau apa lagi.



Tetapi, jangan dikira di tengah-tengah kemewahan seperti itu tidak menyimpan bara api. Tidak jarang di dalam keluarga semacam itu, anak-anak menjadi jenuh, lalu lari dari kenyataan karena kejenuhan kemewahan. Pelariannya sudah dapat ditebak akan mudah terperangkap dalam kehidupan yang maya, karena berbagai zat yang menghilangkan kesadaran yang membuat mereka terbuai dalam mimpi. Inilah malapetaka penyalahgunaan narkotik yang merambah dan merupakan ancaman bagi setiap keluarga dan bukan hanya di kota-kota.



Terlepas dari kenyataan-kenyataan yang menyedihkan seperti itu, kita tidak boleh kehilangan ukuran, meskipun jauh dari sempurna, untuk menakar tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. Badan PBB untuk pembangunan manusia (UNDP) mengeluarkan laporan seperti tahun-tahun sebelumnya tentang pembangunan manusia pada 2004. Laporan ini disebut Human Development Report 2004 yang mencakup 177 negara yang disurvei.



Sesungguhnya, laporan ini merupakan kecenderungan dan tidak boleh dibaca untuk satu tahun saja. Ukuran yang dipakai oleh badan ini memang ukuran yang bersifat kuantitatif, jadi memang tidak menyentuh aspek spiritual dan kerohanian. Parameter yang dipakai seperti tahun-tahun sebelumnya tidak berubah, yaitu keadaan pada 2002.



Pembangunan manusia versi badan ini menggunakan empat ukuran: probabilitas harapan hidup pada waktu kelahiran, angka melek huruf untuk mereka yang berumur 15 tahun ke atas, jumlah penduduk yang terdaftar di SD, SMP, dan SMU, serta penghasilan rata-rata per orang dilihat dari sudut daya beli. Berdasarkan empat ukuran itu, lalu dilakukan penggabungan untuk mencapai indeks tertentu dan indeks inilah yang dijadikan ukuran pembangunan manusia (Human Development Index).



Dari 177 negara yang disurvei, dikategorikan ke dalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah negara-negara dengan indeks pembangunan manusia tinggi. Di tempat ini pada umumnya diduduki oleh negara-negara yang maju dalam bidang ekonomi. Yang menarik, dalam kategori ini terdapat pula negara yang tidak maju dalam bidang teknologi, misalnya Bahrain, Kuwait, Qatar, dan Kuba.



Dalam kategori kedua adalah kelompok yang termasuk kelas menengah. Di sini Indonesia masih beruntung karena masih tergolong dalam kelas ini, meskipun berada dalam posisi ke-111 dari 177 negara. Dalam kelompok ini Indonesia jauh tertinggal dibandingkan Malaysia yang menduduki papan atas dalam kelompok menengah, yaitu menempati posisi ke-59. Thailand menempati posisi ke-76, satu tingkat di atas Arab Saudi. Filipina menempati posisi ke-58, Cina ke-94, Vietnam satu tingkat di bawah Indonesia. Dan India masih di bawah Indonesia, yaitu dengan peringkat ke-127.



Dalam kelompok negara yang indeks pembangunan manusianya tergolong rendah banyak diduduki negara-negara Afrika dan Pakistan termasuk dalam kategori ini.



Membaca laporan ini jangan terpaku pada satu tahun dan saya heran membaca reaksi dari pejabat pemerintah yang agak berang dan cenderung emosional. Bahan survei seperti ini berguna dan tidak perlu dijadikan satu-satunya referensi untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat kita.



Sesungguhnya, kecenderungan Indonesia membaik jika dilihat dalam interval lima tahunan. Setiap jangka waktu lima tahun dari 1975 hingga 2002, indeks pembangunan manusia Indonesia menurut versi ini menunjukkan kecenderungan yang membaik.



Meskipun demikian, kita jangan cepat berpuas diri. Lihat bagaimana tertinggalnya kita dibandingkan dengan Malaysia yang secara kultural dapat dikatakan sama dengan kita. Bahkan pada 1970-an ibu-ibu di Malaysia untuk membuat kue lapis legit saja masih belajar dari ibu-ibu di Indonesia. Apa yang salah tentang kita selama ini sehingga demikian tertinggalnya kita dari Malaysia?



Kita jangan selalu saja menyalahkan penjajah Belanda sebagai keranjang sampah dan membandingkannya dengan penjajah Inggris yang kelakuannya lebih baik dibandingkan Belanda. Pendidikan yang diwariskan Inggris memang lebih baik bagi anak negeri, tetapi itu bukan satu-satunya penyebab ketertinggalan kita. Kekurangan-kekurangan ada pada diri kita sendiri, termasuk etos kerja yang rendah, korupsi dan pemborosan yang merajalela, manajemen publik yang tampak amburadul.



Kembali pada topik tulisan ini, yaitu tentang pembangunan manusia, kita dapat pula menggunakan referensi lain sebagai perbandingan, yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2003. Menurut badan ini, jika dibandingkan antara 1999 dan 2002, IPM Indonesia rata-rata secara nasional mengalami kemajuan kecil yang tidak signifikan.



Ukuran yang dipakai BPS sebenarnya tidak banyak berbeda dengan yang dipakai UNDP. BPS menggunakan kriteria angka harapan hidup pada saat kelahiran, persentase penduduk yang melek huruf, rata-rata waktu mengenyam pendidikan di sekolah, serta konsumsi atau pengeluaran yang dikeluarkan per orang untuk kebutuhan dasar.



Yang menarik untuk dicatat, IPM Indonesia yang tertinggi pada 2002 diduduki oleh DKI Jakarta, peringkat kedua diduduki Sumatera Utara, peringkat ketiga DI Yogyakarta. Peringkat terendah secara berturut-turut diduduki NTB, Papua, dan NTT. Kalimantan Barat juga menduduki posisi hampir sama dengan NTT, sedangkan Nanggroe Aceh Darussalam menempati posisi di tengah.



Tentu angka-angka dan peringkat di atas tidak pasti sifatnya dan analisis ini hanya merupakan kecenderungan-kecenderungan. Meskipun demikian, ia berguna untuk perumusan kebijakan ke depan, terutama bagi pemerintah, baik di pusat maupun di daerah-daerah.



Kita harus berupaya dengan sekuat tenaga, serius, dan berkesinambungan meningkatkan pembangunan manusia Indonesia sebagai bagian yang penting dari upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia serta meningkatkan daya saing nasional. Kita berharap pemerintahan baru yang akan tampil pada Oktober mendatang benar-benar akan memberi angin segar ke arah perubahan yang berarti untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan bukan sekadar janji-janji kosong.