Tuesday, June 11, 2013

Republika - Pondok Patani

Kamis, 2 Pebruari 2006.



Pondok Patani

























Pondok Patani, atau pondok di Thailand Selatan secara keseluruhan boleh dikatakan sama dengan pesantren di Jawa atau tempat-tempat lain di Indonesia pada 1950-an atau 1960-an sebelum pesantren mengalami modernisasi. Kini, setelah kerusuhan kembali merebak di Patani atau kawasan Melayu Muslim di Thailand Selatan dalam dua tahun terakhir, pondok menjadi tertuduh sebagai tempat pusat perlawanan atas pendekatan keamanan yang dilakukan pemerintah. PM Thailand, Thaksin Shinawatra, secara terbuka menyatakan tidak akan menoleransi pondok seperti itu. Pondok Patani, umumnya masih sangat tradisional, bagi kaum Melayu Muslim Thailand Selatan lebih daripada sekadar lembaga pendidikan Islam, tapi juga merupakan salah satu identitas keagamaan dan kultural. Karena itu, ancaman penutupan pondok, langsung ataupun tidak, bagi kaum Muslimin Thailand merupakan 'pembunuhan', genocide, religius-kultural. Pembicaraan tentang pondok juga mengemuka dalam international workshop bertajuk "Voice!

s of Islam in Europe and Southeast Asia", yang diselenggarakan The Regional Studies Program, Walailak University dan Department of Cross-Cultural and Regional Studies, University of Copenhagen. Dalam lokakarya di Kota Nakhon Si Thammarat itu, kawasan selatan Thailand, terlihat kontras perkembangan pondok Patani, dengan pesantren, madrasah, dan lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Tradisionalisme pondok Patani mempunyai sejarah panjang. Kaum Muslimin Melayu Patani mengklaim, pondok merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di nusantara, meski sumber-sumber sejarah umumnya menyebutkan, Islam datang dan berkembang di wilayah ini baru pada abad ke-16. Terlepas dari kondisi itu, pondok Patani mengirimkan lulusan terbaiknya ke Haramayn yang kemudian menjadi ulama besar seperti Daud bin Abdullah al-Patani (abad ke-19), Ahmad bin Muahammad Zayn al-Patani, dan Zayn al-Abidin bin Muhammad al-Patani (abad 20). Pondok --seperti pesantren-- juga mengalami transisi sepanjang ab!

ad ke-20; sebagian pondok berubah menjadi "sekolah agama rakya!

t" dan l

ebih banyak lagi mendirikan madrasah tetapi banyak madrasah juga yang didirikan yayasan-yayasan Islam di luar pondok. Sebagian besar gurunya adalah alumni Timur Tengah, Indonesia, dan Malaysia. Dan, madrasah-madrasah ini, menurut klaim pemerintah, menerima banyak bantuan dari Timur Tengah; selanjutnya mereka menjadi "madrasah Wahabiyah" yang --sekali lagi, menurut pemerintahan Thaksin-- menjadi biang dari radikalisme di kalangan kaum Muslimin Thailand. Apakah madrasah dan pondok Patani kini telah menjadi Wahabiyah, perlu penelitian mendalam. Yang jelas, jika kaum Muslimin Patani kini bergolak, maka penyebabnya sangat kompleks. Kepengikutan kepada Wahabiyah saja --jika benar-- tidak secara otomatis mendorong kepada kekerasan. Seperti saya kemukakan dalam wawancara dengan TV 3 Thailand di sela-sela workshop, akar-akar pergolakan di Thailand Selatan sedikitnya ada empat: Pertama, pendekatan kekerasan yang dilakukan pemerintah Thaksin, yang akhirnya menghasilkan lingkaran kekera!

san. Dalam menghadapi ketidakpuasan dan unjuk rasa damai, PM Thaksin tidak segan-segan mengerahkan kekuatan militer, yang mengorbankan orang-orang Muslim Patani. Selanjutnya tindakan ini dibalas dengan taktik "gerilya" oleh orang-orang Patani. Kedua, kondisi ekonomi yang buruk di wilayah selatan; meski ekonomi Thailand terus meningkat, tidak banyak perkembangan ekonomi di wilayah selatan. Mereka tetap terbelakang dan miskin. Ketiga, monolitisme budaya Thai dengan mengorbankan budaya Melayu Muslim. Sejak 1970-an Pemerintah Thailand melakukan "Siamisasi" dengan mewajibkan orang-orang Muslim Patani menggunakan nama dan bahasa Thai. Keempat, terbelakangnya pendidikan, karena kurangnya perhatian Pemerintah Thailand. Poin terakhir ini, perlu ditekankan. Di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, misalnya, terdapat sekitar 80 orang mahasiswa Thailand Selatan. Setahu saya, tidak seorang pun yang mendapat bantuan keuangan seperti beasiswa dari Pemerintah Thailand. UIN Jakarta dan Departeme!

n Agama "bermurah hati" memberikan beasiswa kepada mereka. Sa!

ya tahu,

ada mahasiswa-mahasiswa Thai di Ciputat yang membuka warung nasi kecil-kecilan untuk bisa bertahan. Dalam dua tahun terakhir, Pemerintah Thailand meminta daftar lengkap nama-nama mahasiswa asal Thailand Selatan di UIN Jakarta. Sebagai rektor, saya selalu mengatakan, daftar itu tidak bisa diberikan karena bersifat "confidential". Kita tidak ingin, jika selesai kuliah dan kembali ke tanah air mereka, kemudian menghadapi kesulitan. Dalam dua kesempatan liputan TV Thailand ke kampus belum lama ini, saya selalu menegaskan, mahasiswa-mahasiswa Muslim Thailand sesungguhnya aset yang tidak ternilai. Belajar di Perguruan Tinggi Islam Negeri, mereka belajar tentang Islam dan kemodernan. Integrasi keislaman dan kemodernan akan membuat mereka terhindar dari ekstremisme dan radikalisme. Jadi, tidak ada yang perlu dicurigai.

(Azyumardi Azra )