Kamis, 22 Mei 2003.
Urgensi Manajemen Impor BerasKhudoriALUMNI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER
Dalam kancah perdagangan internasional, masalah yang dihadapi Indonesia saat ini tidak hanya bagaimana mendorong ekspor untuk menghasilkan devisa, tapi juga bagaimana mengelola besarnya impor berbagai produk kebutuhan masyarakat Indonesia. Manajemen impor produk pertanian, terutama produk pangan, memiliki urgensi yang tinggi, mengingat hal ini akan berakibat luas pada berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Untuk beras, manajemen impor memiliki urgensi yang tinggi karena menyangkut nasib 20 juta rumah tangga (RT) petani dan isi perut 210 warga. Jika pasokan beras impor murah melimpah seperti pada saat panen raya kali ini, itu akan menekan harga domestik. Sebaliknya, jika pasokan impor tipis, sedangkan kondisi paceklik, bakal terjadi kelaparan.
Sampai saat ini impor beras masih menjadi perdebatan. Mereka yang setuju mengatakan, impor beras murah harus tetap dibuka. Ini akan menguntungkan konsumen, termasuk petani yang 10 juta RT di antaranya net-consumers. Yang tak setuju beralasan, impor akan menekan harga, sehingga petani tidak mendapat keuntungan yang memadai dan tidak memperoleh insentif yang cukup untuk mempertahankan usaha taninya. Dalam jangka panjang, hal ini akan mengancam kemandirian ketahanan pangan Indonesia.
Perdebatan ini lumrah adanya. Yang diperlukan sekarang adalah penetapan prinsip atau visi dasar sebelum melakukan impor. Sebagai negara yang berdaulat, prinsip dasar impor yang dilakukan Indonesia semestinya bisa menjunjung tinggi kedaulatan bangsa dan negara dalam memenuhi kebutuhan hidupnya di antara negara-negara dunia. Indonesia tetap memiliki kedaulatan dalam mengimpor atau tidak mengimpor produk yang dibutuhkannya. Apa pun keputusan atas itu, kita tidak bisa ditekan oleh negara lain, karena ketergantungan pada produk impor. Ini sangat penting justru karena dunia sudah tidak lagi berbatas dan Indonesia ingin menjadi negara yang aktif di dalamnya.
Dengan prinsip dasar dan visi itu, Indonesia dapat mengembangkan manajemen impor beras yang jelas dan tegas. Indonesia tidak bisa menggantungkan kebutuhan pangannya pada pasar internasional. Sebab, karakteristik beras di pasar dunia, selain volumenya tipis (thin market), antara 21-23 juta ton per tahun atau 5-7 persen dari total produksi, dan hanya diekspor setelah kebutuhan dalam negeri negara eksportir terpenuhi (residual market), pasarnya juga lebih mendekati pasar oligopoli (imperfect market).
Meskipun realitasnya kita menjadi konsumen dalam pasar dunia, kita harus dapat memperlakukan produk impor sebagai residual. Artinya, impor hanya akan dilakukan untuk memenuhi sebagian ceruk pasar (niche market) dalam negeri yang memang tidak dipenuhi oleh produk domestik. Misalnya, untuk memenuhi selera para tamu hotel dan orang asing, atau kelompok high class yang kebutuhannya 1,5 juta ton per tahun. Jika ada dorongan untuk mengimpor lebih dari jumlah itu, perlu dilakukan berbagai usaha untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produk dalam negeri serta menurunkan tingkat konsumsi per kapita. Cuma, upaya ini memakan waktu lama karena terkait dengan investasi infrastruktur sektor pertanian, pemberian insentif, dan kebijakan proteksi.
Opsi yang terbuka dilakukan saat ini adalah bagaimana mengelola impor beras agar tidak berdampak negatif, baik bagi produsen maupun konsumen. Sebaliknya, impor beras dikelola, sehingga tidak saja menguntungkan produsen dan konsumen beras domestik, tapi juga memberi pemasukan bagi negara.
Untuk mengendalikan dampak negatif impor beras, para penganut mazhab liberalisasi yakin atas keampuhan instrumen bea masuk (BM). Namun, untuk negara kepulauan seperti Indonesia yang kredibilitas aparat kepabeanannya rendah, instrumen BM terasa mustahil. Buktinya, menurut data Badan Urusan Logistik (Bulog), pada tahun 2000 pemerintah mestinya bisa memungut BM Rp 1 triliun dari 2,6 juta ton beras impor. Ternyata yang masuk ke kas negara hanya Rp 325 miliar (atau sekitar 30 persen). Artinya, beras impor itu sebagian besar ilegal dan tidak membayar BM 30 persen (Rp 430 per kilogram).
Oleh karena itu, untuk mengeliminasi dampak negatif impor beras, instrumen BM harus diintegrasikan dengan kebijakan penentuan jumlah, kualitas, dan waktu impor beras. Lewat tiga kebijakan tersebut, pemerintah atau lembaga yang ditunjuk, bisa merencanakan jumlah dan kualitas beras yang akan diimpor. Dari sisi jumlah, bagaimana beras impor dikelola agar jumlahnya tidak terlalu banyak atau malah terlalu sedikit. Dari sisi kualitas, sejauh mungkin harus dihindari mengimpor beras yang kualitasnya sama, atau malah lebih rendah, dari kualitas beras yang dihasilkan petani domestik.
Instrumen ini dimaksudkan untuk menghindari tertekannya harga jual beras petani akibat serbuan beras impor murah. Impor beras juga hanya diperbolehkan untuk beras berkualitas tinggi, broken 5-10 persen yang rasanya pulen misalnya, yang memang ditargetkan untuk konsumen tertentu (kaya dan orang asing). Kedatangan impor pun harus diatur sedemikian rupa, di luar musim panen raya, misalnya, sehingga tidak menekan harga beras panenan petani kita. Dengan pemantauan dan evaluasi secara berkala, semua aspek manajemen atau pengelolaan impor beras tersebut dapat diterapkan secara simultan.
Untuk menjaga transparansi dalam pengelolaan impor beras tersebut, salah satu pilihan yang terbuka untuk diadopsi adalah kebijakan tariff-quota (TQ). Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) melaporkan, kebijakan kuota tarif ini dilaksanakan oleh 37 negara anggota WTO, dengan jumlah 1.371 macam item/komoditas. Indonesia sendiri masih tercatat di WTO sebagai negara pelaksana kuota tarif untuk komoditas beras dan gula sampai 2004. WTO merekomendasikan kebijakan kuota tarif karena beleid ini jauh lebih transparan dibandingkan dengan kebijakan kuota yang diberikan kepada Bulog di Orde Baru. Artinya, tak ada konflik dengan WTO.
Dengan kuota tarif, kita dapat menetapkan jumlah kuota impor beras setiap tahunnya dengan tingkat BM tertentu. Apabila volume kuota sudah terpenuhi, impor beras bisa dibuka kepada swasta lewat tender yang terbuka dan transparan dengan tingkat BM yang dipatok lebih tinggi. Pihak swasta pemenang tender harus langsung membayar BM dan berbagai pajak ke pemerintah.
Cara ini bukan saja akan dapat mengeliminasi dampak negatif impor beras, penerimaan pemerintah dari BM impor beras juga lebih terjamin. Dan yang penting, pemerintah atau lembaga pengelola impor beras akan bebas dari tuduhan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) seperti periode sebelumnya, yang sering ditimpakan ke Bulog.