Monday, June 3, 2013

Tempointeraktif.com - Stiglitz: Negosiasi Ulang Kontrak Pertambangan

Kamis, 16 Agustus 2007.





Stiglitz: Negosiasi Ulang Kontrak Pertambangan

Kamis, 16 Agustus 2007 | 01:04 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Pemerintah diminta menegosiasi ulang kontrak-kontrak pertambangan yang terindikasi merugikan kepentingan rakyat. Joseph E. Stiglitz, pemenang hadiah Nobel, mengatakan, jika pemerintah Indonesia berani melakukan ini maka akan memperoleh keuntungan jauh lebih besar dibandingkan yang diperoleh para investor asing.



"Mereka (para perusahaan tambang asing) tahu kok bahwa mereka sedang merampok kekayaan alam negara-negara berkembang," kata Stiglitz dalam wawancara eksklusif dengan Tempo, kemarin.



Negosiasi ulang kontrak karya ini juga sangat mungkin dilakukan dengan Freeport McMoran, yang memiliki anak perusahaan PT Freeport Indonesia. Freeport merupakan salah perusahaan tambang terbesar di dunia yang melakukan kegiatan eksplotasi di Papua.



Stiglitz mencontohkan ketegasan sikap Rusia terhadap Shell. Rusia mencabut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikantongi Shell. Ini karena perusahaan minyak itu

didapati melanggar Undang-Undang Lingkungan Hidup dengan melakukan pencemaran lingkungan. "Kalau melanggar undang-undang, ya izinnya harus dicabut dong," kata dia.



Dimintai tanggapannya soal ini, Menteri Koordinator Perekonomian Boediono enggan berkomentar banyak. Usai seminar yang juga dihadiri Stiglitz dua hari lalu, ia engatakan itu hanya semacam kasus yang dipelajari mantan kepala ekonom Bank Dunia. "Tapi tentu kita harus melihat situasi kita sendiri," katanya.



Seperti ramai diberitakan beberapa waktu lalu, Freeport Indonesia melakukan pencemaran lingkungan di selama mengebor emas dan tembaga di Papua. Namun, kasus ini tidak pernah sampai ke pengadilan. Pemerintah hanya meminta perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu memperbaiki fasilitas pengolahan limbahnya.



Stiglitz juga menyoroti keberhasilan Bolivia menegosiasi ulang kontrak-kontrak karya dengan para investor asing yang menguasai penambangan minyak dan gas.



Negara miskin Amerika Latin itu sekarang memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar. "Jika sebelumnya hanya memperoleh keuntungan 18 persen, sekarang sebaliknya mereka yang mendapat 82 persen," ujarnya. Dan para investor asing itu, kata dia, tetap disana.



Untuk menetralisir tekanan yang muncul dari negara besar seperti Amerika Serikat yang mendukung perusahaan asing secara diam-diam, sepeti ExxonMobil, Stiglitz punya saran. Menurutnya, media massa harus mempublikasikannya. "Masyarakat pasti akan sangat marah ketika mengetahuinya, sehingga kontrak-kontrak itu akan dinegosiasi ulang."



Ia menyesalkan sikap seorang duta besar Amerika Serikat yang sempat meminta Indonesia menghormati kontrak-kontrak pertambangan yang terindikasi korupsi. Pejabat itu akhirnya diberi posisi manajemen oleh sebuah perusahaan tambang besar asing. "Ketika dia menguliahi Indonesia tentang korupsi, justru dia sedang mempraktekkannya," kata Stiglitz yang enggan menyebut nama pejabat itu.



BUDIRIZA



INDEKS BERITA LAINNYA :