Thursday, June 6, 2013

Republika - Sumur Lebak Ayah

Minggu, 19 Pebruari 2006.



Sumur Lebak Ayah





Cerpen Eep Saefulloh Fatah



















Bagiku, Sumur Lebak adalah Ayah dan Ayah adalah Sumur Lebak. Sumur itu terletak di lebak. Tak jauh dari rumahku. Untuk ke sana, kita mesti menuruni jalan menukik tajam yang membelah kebun bambu. Di pinggir kiri dan kanan jalan, di sepanjang sisi turunan, rumpun bambu betung besar berjejer seperti pagar bagus di pesta perkawinan. Mereka selalu merunduk-runduk takzim tanpa henti.

Ketika batang-batang bambu saling bergesek bersentuhan, ketika angin bercumbu dengan daun-daun bambu, terbitlah irama riang sambung menyambung. Siapapun yang naik dan turun ke sumur tua itu pun senantiasa diiringi semacam angklung.

Jangan bayangkan sebuah sumur biasa dengan lubang berdiameter satu setengah meter, menjorok ke dalam bumi, seperti pipa yang berujung di kegelapan. Sumur Lebak adalah semacam empang dengan panjang dan lebar sekitar lima meter dan kedalaman tak lebih dari tiga atau empat meter. Di tengah sumur ini terbentang bantaran bambu-bambu betung yang kokoh, melintang seperti jembatan. Orang-orang menimba airnya dengan berdiri di atas bentangan bambu-bambu itu dengan menggunakan ember karet yang diikatkan pada sebatang galah.

Air Sumur Lebak tak pernah jernih. Selalu saja agak kecoklatan. Tapi, ia tak pernah kering. Sepanjang tahun. Maka, sepanjang kemarau ketika desa kami dikepung kekeringan panjang dan sumur di setiap rumah menjadi kerontang, semua orang selalu kembali ke Sumur Lebak. Mandi. Mencuci pakaian. Mengambil wudlu. Mengambil air untuk memasak. Mencuci beras dan sayur mayur. Maka, di tiap musim penghujan, Sumur Lebak diterkam senyap. Tapi, setiap kali kemarau merajalela, sepi yang setia menemani Sumur Lebak terusir pergi, berganti kecipak air dan senda-gurau yang ramai sahut menyahut.

Wajarlah jika Ayah suatu kali pernah mengatakan. 'Orang-orang desa kita memperlakukan Sumur Lebak seperti seorang istri yang muda dan mata duitan memperlakukan suaminya yang jompo dan kaya. Dikuras airnya ketika butuh, lalu dibiarkan mati ketika tak butuh.'

Begitulah. Pada setiap musim hujan Sumur Lebak kembali sunyi. Jarang orang datang ke sana. Sumur Lebak pun terpuruk sendiri dikelilingi hutan gabus yang lembab dan pohon-pohon perdu yang pendiam. Ketika semua orang desa pergi itulah Ayah selalu datang dan setia merawatnya.

Hanya Ayah yang setia. Maka bagiku, Sumur Lebak adalah Ayah dan Ayah adalah Sumur Lebak.

Tapi sesungguhnya Ayah tak sendirian. Ayah menunjuk semacam asisten. Menunjuk? Asisten? Tak persis begitu sesungguhnya.

Namanya Awang. Karena lebih tua dua tahun dariku, aku memanggilnya Aa Awang. Lantaran kepanjangan, maka biasa kupanggil Aaw saja. Aaw adalah anak sulung tetangga kami, seorang piatu, ditinggal ibunya meninggal ketika melahirkannya. Ayahnya bertahan memduda dan bertahan menjadi Marbot, penjaga Masjid Agung Kecamatan.

Ketika Aaw mulai bersekolah dasar, Ayah mengambil alih beban uang sekolahnya karena tahu persis ketidakmampuan ayah Aaw. Sejak itu pula, Aaw menjadi asisten Ayah untuk banyak urusan. Membawa kambing-kambing peliharaan kami ke tegalan setiap pagi dan mengikat mereka dengan tambang panjang di pohon mangga besar di tengah tegalan. Menjemput mereka kembali di sore hari dan mengandangkannya. Membantu Ayah membuat pagar bambu rumah kami setiap musim ganti pagar datang. Dan yang terpenting, membantu Ayah membersihkan sampah-sampah yang berserak di jalan setapak menuju Sumur Lebak dan membersihkan jembatan betung di atas Sumur Lebak dan tempat mandi-cuci di sana.

Aku sendiri? Sejak ada Aaw aku merasa Ayah sudah punya pembantu yang membantunya untuk hampir semua urusan. Aku pun bebas bermain atau sesekali belajar di rumah. Seingatku, Ayah mendiamkan saja, tak pernah menegurku. Tentu saja, aku senang belaka. Hanya saja, Ayah tak tahu bahwa kerapkali aku pun memperlakukan Aaw seperti pembantuku sendiri. Kusuruh-suruh semauku. Tentu, sekali lagi, tanpa Ayah tahu.

Sesekali, Aku merasa iri juga sama Aaw. Ayah sering berduaan dengan Aaw di Sumur Lebak. Beberapa kali kutemui Ayah sedang memberi nasehat-nasehat di depan Aaw yang duduk takzim mendengarkan. Pernah kudengar Ayah mengingatkan supaya Aaw baik-baik bersekolah, rajin belajar dan berusaha membuktikan bahwa hidup serba kekurangan bukanlah alasan untuk gagal menjadi manusia yang berguna buat orang banyak.

Kata ayah, 'Nilai seseorang ditentukan bukan bagaimana ia bisa sukses untuk dirinya, tapi bagaimana orang banyak ikut merasakan sukses itu dan ikut mensyukurinya.'

Nasehat-nasehat yang sama sebetulnya sering Ayah ulang-ulang untukku. Cuma, aku merasakan suasana yang berbeda. Di depanku Ayah hanya berlaku sebagai orang tua. Titik. Tapi, kurasa, hubungan Ayah dan Aaw lebih dalam dari itu. Guru-murid. Orang tua-anak. Dan di atas segalanya, dua orang yang saling bergantung dan bertukar jasa. Aku merasa, secara emosional Ayah lebih dekat dengan Aaw ketimbang denganku.

Lain waktu, kupergoki Ayah sedang menasehati Aaw soal yang tampaknya amat serius. 'Di mana pun kamu berada, dalam keadaan apapun, ketika berhasil atau gagal, punya jabatan tinggi atau menjadi pegawai rendahan, kamu boleh kehilangan apapun kecuali kejujuran.'

'Kamu tahu Gandhi?' tanya Ayah.'Mahatma Gandhi? Bapak Bangsa India?' Aaw kelihatan sedikit ragu atau kurang percaya diri.

'Ya. Mahatma Gandhi. Kamu sudah baca riwayat hidupnya?''Belum, Uwa.''Bacalah. Dan kamu bisa meniru doa yang diucapkan Gandhi setiap hari. Ya Tuhan, bimbinglah aku dari dusta menuju kebenaran, dari kegelapan menuju cahaya, dari kematian menuju keabadian.'

Kulihat Aaw mengangguk. Rasa iri membuncah dalam dadaku. Belum pernah Ayah mengajakku bicara tentang Gandhi. Benar, Ayah pernah meminjamiku buku sejarah hidup Gandhi dari sekolahnya. Sebagai Kepala SD, Ayah tentu bisa meminjam buku apa saja dari perpustakaan sekolah dan membawanya ke rumah. Aku pun membacanya, tapi, jujur saja, cuma selewatan. Kupikir tak ada yang terlalu menarik dari kisahnya.

'Dengan doa itu, Gandhi mengajarkan betapa kejujuran atau kebenaran merupakan pokok dan pangkal dari hidup yang mulia.'

Hubungan Ayah dan Aaw terjaga hingga kami, aku dan Aaw, duduk di bangku SMA. Aku kelas 1 dan Aaw di kelas 3. Ayah sendiri sudah pensiun sejak aku SMP kelas 1, dan mulai sakit-sakitan. Lalu Aaw menjadi semacam pengganti Ayah. Menjaga supaya Sumur Lebak tak terlantar. Jujur saja, aku sedikit kagum karena Aaw tak gengsi melakukannya, sementara tak pernah terbersit sama sekali dalam pikiranku aku sanggup melakukannya. Membersihkan sampa sepanjang jalan, membersihkan betung-betung itu, membersihkan tempat mandi-cuci, di hadapan tatapan gadis-gadis desa yang mungkin sesekali ada di sekitar situ? Oh, tidak. Tidak.

Yang jelas, semakin rajin Aaw membersihkan Sumur Lebak, semakin aku iri padanya. Sering kulihat Ayah memandang Aaw dengan kebanggaan yang tak bisa disembunyikan dari matanya. Pandang mata itu rasa-rasanya aku sendiri hampir tak pernah menerimanya.

Aaw lulus SMA. Nilainya sangat memuaskan. Tapi tentu saja ia tak punya biaya untuk masuk perguruan tinggi. Kudengar ia hendak pergi ke luar Jawa, menumpang hidup dengan pamannya yang bekerja di sebuah perkebunan kelapa sawit, sambil mencoba mencari peruntungan. Tapi, aku tak tahu persis di mana pamannya Aaw itu hidup.

Yang kutahu, di sebuah pagi hari Ahad, Aaw datang ke rumahku. Membawa tas lumayan besar. Dengan mata berkaca-kaca ia pamit pada Ayah dan meminta maaf tak bisa terus menemani Ayah di tengah kesehatannya yang sudah jauh menurun.

Sebelum Aaw pergi, Ayah membaca doa pendek di depan kami semua. 'Ya Allah, anakku Awang telah mewakafkan hidupnya untuk bersetia pada Sumur Lebak. Ya Allah, Kau telah anugerahi kami dengan air Sumur Lebak yang tak pernah kering yang membuat hidup di desa ini terus terjaga, tak terhenti. Ya Allah berilah anakku Awang keberkahan yang tak putus-putus seperti Kau anugerahi Sumur Lebak berkah air yang tak putus-putus. Berkahilah anakku Awang ya Allah, sebagaimana Sumur Lebak telah memberkahi hidup kami di desa ini dengan tak putus-putus.'

Kulihat Ayah mengusap kepala Aaw dengan hidmat dengan mata berkaca-kaca. Aaw lalu pergi setelah mencium tangan Ayah dengan takzim. Ayah terus menatap sosoknya yang menjauh, melamat dan hilang ditelah belokan di depan Masjid. Sekalipun aku sedih karena kehilangan Aaw yang selalu bisa kuandalkan, aku diam-diam memandangi Ayah dengan dada mendidih.

Setelah itu, tak pernah kudengar lagi kabar tentang Aaw. Ayah sendiri meninggal dunia beberapa bulan setelah Aaw pamitan pagi Ahad itu. Sepeninggal Aaw dan Ayah, Sumur Lebak benar-benar tak terurus. Jalan setapak sepanjang kebun bambu itu kemudian bahkan tertutup sampah. Pohon-pohon betung di kiri-kanan jalan itupun makin langka, ditebangi begitu saja untuk banyak keperluan.

Di setiap kemarau, masih ada satu dua orang desa yang datang ke Sumur Lebak. Tapi airnyanya sudah menjadi coklat tua. Tak ada juga yang tergerak membersihkan sampahnya.

Bintaro, 6 Februari 2006Keterangan: Lebak = LembahTegalan= Padang rumputUwa = Paman, kakak Ibu/Ayah. Biasa juga dipakai untuk menyebut seorang yang dituakan dan dekat.

( )