Monday, June 10, 2013

Giliran Sepatu RI Kecolongan - 13/03/2006, 08:45 WIB - KOMPAS Cyber Media - NASIONAL

Senin, 13 Maret 2006.





Giliran Sepatu RI Kecolongan

Ada Indikasi Dokumen Indonesia Dipakai untuk Ekspor Sepatu dari China

Jakarta, Kompas

Kirim Teman | Print Artikel

Setelah industri tekstil, kini giliran pengusaha sepatu kecolongan dari produk China yang menggunakan dokumen Pemerintah Indonesia untuk ekspor. Pengusaha China dilaporkan datang ke Indonesia mencari surat keterangan asal atau SKA dengan harga 500 dollar AS per dokumen.

Indikasi adanya penggunaan dokumen ekspor sepatu kulit RI oleh pengusaha China mengemuka dalam pertemuan antara Menteri Perindustrian Fahmi Idris dan anggota Asosiasi Pengusaha Sepatu (Aprisindo) Jawa Timur di Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu (11/3).

Presiden Direktur PT Golden Footwear Indonesia 2 Welly Karlan mengemukakan, dia telah didatangi pengusaha sepatu dari China yang meminta dibuatkan SKA agar barangnya seolah-olah produk Indonesia agar tidak dikenai bea masuk yang tinggi untuk menembus pasar Amerika Serikat. Setiap dokumen untuk pengiriman satu peti kemas dibeli 500 dollar AS.

"Penawaran tersebut sangat menggiurkan karena setiap bulan butuh 1.000 dokumen sehingga dalam sebulan bisa mendapatkan sekitar Rp 5 miliar atau dalam setahun Rp 60 miliar tanpa keringat. Tetapi karena punya pabrik dan kesadaran, tawaran tersebut saya tolak," ujar Welly.

Menurut Welly, China berani mengeluarkan biaya untuk mendapatkan SKA karena harga satu peti kemas produk sepatu kulit China hanya bernilai 50.000 dollar AS. Jadi, kalau membayar SKA Indonesia, masih lebih murah untuk menembus pasar AS.

Dia menduga pasti sudah ada pengusaha yang bersedia menyediakan dokumen SKA buat produk China, terutama pengusaha yang sudah tidak berproduksi karena keuntungan relatif besar tanpa memeras keringat mengerjakan pesanan dari pembeli.

Minta berhati-hati

Menteri Perindustrian Fahmi Idris meminta para kepala dinas perindustrian dan perdagangan (disperindag) di daerah untuk berhati-hati menerbitkan dokumen SKA. Saat ini, dari 32 dinas yang ada di daerah, sebanyak 14 dinas diberikan kewenangan untuk menerbitkan SKA.

"Harus betul-betul dicek untuk menghentikan praktik ekspor melalui negara ketiga yang tidak wajar. Seharusnya, semua kepala dinas mencurigai manifes barang yang ditulis tangan karena di China semua dokumen sudah diketik dengan menggunakan komputer," ujar Fahmi.

Fahmi juga menambahkan, pemerintah akan segera memperbaiki peraturan dan undang-undang yang terkait masalah kepabeanan dan investasi, yakni menerapkan fasilitas teknologi informasi dan komunikasi yang lebih canggih antarpelabuhan.

"Saya berharap jangan sampai model perdagangan melalui negara ketiga yang pernah dilakukan pihak China pada produk tekstil Indonesia terjadi juga pada industri sepatu," kata Fahmi.

Dipicu matinya industri

Ketua Aprisindo Jatim Edi Wijanarko mengatakan, banyaknya industri sepatu di Indonesia yang sudah tidak berproduksi mendorong terjadinya praktik ekspor produk China dengan memakai dokumen RI. Pasalnya, dengan membantu pengusaha China, mereka bisa mendapatkan keuntungan lebih besar dibandingkan dengan pengusaha yang menjalankan pabriknya.

Dia mengatakan, saat ini terdapat sekitar 70 pabrik yang tidak berproduksi di Jatim. Yang masih aktif berproduksi hanya sekitar 40 pabrik. Mereka yang mati akibat kehilangan pasar bisa tergoda oleh tawaran menerbitkan SKA.

Welly mengutarakan, satu-satunya cara untuk mencegah penjualan SKA kepada pengusaha China adalah dengan melakukan kerja sama antara disperindag dan Aprisindo. Jika ingin menerbitkan SKA, sebaiknya disperindag memberikan informasi kepada kalangan Aprisindo.

"Caranya, kita buat situs internet sehingga dinas-dinas perindag mengumumkan di media tersebut setiap permohonan SKA yang akan diloloskan. Tujuannya agar anggota Aprisindo bisa membantu pemerintah mengawasi karena tahu betul perusahaan-perusahaan yang masih berproduksi," ujar Welly. (BOY)