Minggu, 8 Juni 2008.
Sepatu Lukis Laris Manis
Setiap bulan, 80 hingga 100 pasang sepatu lukis ludes diserbu pembeli
Lulus dari bangku kuliah bukan berarti pertemanan berakhir. Seperti itulah Tina, Nia dan Dani. Dulu, tiga dara ini adalah sama-sama mahasiswi Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) angkatan tahun 2001. Setelah lulus, mereka kembali ke Jakarta. Suatu hari, tanpa sengaja mereka bertemu di sebuah ajang pameran. Obrolan seru pun terjadi. Salah satu tema obrolan mereka adalah produk-produk kerajinan yang dipajang dalam pameran itu. Intinya, trio Tina, Nia, dan Dani sangat tertarik dengan produk kerajinan. Hanya tertarik? Ternyata tidak. Sebab, mereka juga ingin memproduksinya. Saat itulah, muncul ide untuk membuka usaha bersama. Bidang usahanya tentu berkaitan dengan keterampilan mereka, melukis. Bisnis mereka pun segera bergulir. Awalnya, tiga perempuan manis yang jago menggambar ini menggoreskan coretan indah pada tas, kaos dan sepatu. Setelah dilukis, benda-benda itu kemudian dipajang di mobil toko (moko) yang mangkal di depan sekolah-sekolah di!
Jakarta. Maklum, pangsa pasar produk ini memang kalangan remaja. Selain sekolah, mereka rajin memasarkan karya-karyanya di bazaar. Memasarkan produk dari sekolah ke sekolah membuat trio ini sadar bahwa produk mereka mendapat sambutan positif. Banyak anak sekolah yang memesan produk mereka, terutama sepatu lukis. ''Dari situ kita baru kepikiran, nanti ngambil pesanannya di mana ya?'' ungkap Tina, pemilik nama lengkap Christina Budi Utami. Maka, sibuklah ketiga perempuan ini mencari toko. Kebetulan, ada kios kosong di Gria Astika Jl Lamandau, Jakarta Selatan. Merasa cocok, mereka pun segera menggelar karya-karyanya di toko tersebut. ''Sejak buka toko ini pada Agustus 2007, kita tidak ada waktu lagi untuk menggelar dagangan ke sekolah-sekolah,'' ujar Kurniasyah yang akrab disapa Nia. Dari tiga media yang mereka lukis, sepatulah yang paling diminati. Setiap bulan, 80 hingga 100 pasang sepatu lukis laris manis diserbu pembeli. Bukan hanya Jakarta, konsumen juga datang dari M!
edan, Balikpapan, Samarinda dan Makassar. ''Karena itu, kini k!
ami lebi
h fokus melukis di sepatu,'' kata Dani yang bernama lengkap Dyah Dani T. Agar pembeli tidak bosan, tiga dara asal Jakarta ini selalu menciptakan kreasi-kreasi lukisan baru. Paling tidak, 15 kreasi lukisan baru tercipta setiap bulan. Motif lukisan? Sangat beragam. Mulai dari binatang, kartun, huruf, flora, dan lainnya. Pelanggan tinggal memilih motif lukisan yang disukai dalam album-album mini. Tapi, ada kalanya konsumen minta dibuatkan sepatu lukis dengan motif lukisan karya mereka sendiri. Harga sepatu lukis berlabel Positively Pink ini bervariasi. Kisaran harganya Rp 150 ribu sampai Rp 250 ribu. Mahal-murahnya harga, tergantung dari kualitas dan jumlah warna. Sekadar gambaran, jika lukisan menggunakan kurang dari tiga warna, harganya Rp 150 ribu. Sistem kerja Dalam berbisnis, tiga pengusaha muda ini menerapkan sistem kerja yang unik. Jangan tanyakan siapa yang menjadi direktur, manajer, atau karyawan pada mereka. Sebab, tak ada jabatan-jabatan itu di perusahaan mereka. J!
adi? Semua memiliki jabatan dan bobot kerja yang sama. Mereka bergantian menjaga toko. Masing-masing berkewajiban melukis sedikitnya tiga sepatu per hari. Jumlah itu akan meningkat menjelang bazaar atau ketika banyak pesanan. ''Karena setiap pesanan harus selesai dalam waktu seminggu, maka seringkali kita kerjanya ngebut. Tapi kualitas tetap diutamakan,'' kata Tina. Dari usaha ini, Tina, Dani dan Nia bisa meraup omzet Rp 15 juta hingga Rp 20 juta per bulan. Padahal, modal awal mereka tidak besar. Hanya sekitar Rp 1 juta. Lagi-lagi terbukti, bisnis tak harus bermodal dana puluhan atau ratusan juta. Tina, Dani, dan Nia adalah contoh yang sangat baik. Kapan giliran Anda?
(vie )