Senin, 9 Oktober 2006.
RSDK Semarang Sukses Lakukan Cangkok Hati
Ini merupakan operasi cangkok hati yang untuk pertama kali dilakukan oleh tim medis di Indonesia.
SEMARANG -- Satu lagi, prestasi bidang medis diukir oleh tim medis Rumah Sakit Dr Kariyadi (RSDK) Semarang. Baru-baru ini, tim medis rumah sakit negeri terbesar di Jawa Tengah ini telah berhasil melakukan operasi cangkok hati terhadap seorang bayi laki-laki bernama Unggul Hara Hutama, warga Puspowarno Semarang. Operasi yang dilaksanakan Ahad (1/10) lalu ini, merupakan operasi cangkok hati yang untuk pertama kali dilakukan oleh tim medis di Indonesia. Sejak lahir, Unggul Hara Hutama, balita berusia 1,3 tahun ini, sudah mengalami kelainan saluran empedu. Organ ini tak mampu berfungsi optimal karena tidak bisa menyalurkan empedu. Sehingga, empedunya tertimbun di hati dan mengalami sirosis. ''Kalau dibiarkan, peluang hidupnya sangat kecil. Bahkan, untuk bisa merayakan ulang tahunnya yang ke dua persentasenya hanya lima persen,'' ungkap Prof Soemantri, spesialis anak yang menjadi salah satu anggota tim dan pencetus ide canggkok hati di RSDK, dalam jumpa pers di aula RSDK, !
Ahad (8/10). Menurut Soemantri, persiapan cangkok hati terhadap balita ini telah dipersiapkan cukup lama. Begitu kelainan yang disandangnya diketahui, tim medis harus menunggu hingga 15 bulan untuk melakukan operasi. ''Hal in terkait dengan kondisi pasien yang masih balita,'' imbuhnya. Operasi pencangkokan hati yang dipimpin oleh dr Yulianto ini berjalan cukup lama. Sekitar 13 jam, tim medis berupaya keras melakukan operasi dengan ibu kandung pasien sebagai pendonor ini. Menurut Yulianto, operasi cangkok hati ini baru pertama kali dilakukan di Indonesia karena tingkat kesulitan dan risiko yang cukup tinggi. Apalagi, hati adalah organ yang sangat mudah berdarah. ''Sehingga pemotongan harus dilakukan sangat hati-hati untuk menghindari pendarahan,'' ujarnya. Dia juga menjelaskan, dalam melaksanakan operasi, pihaknya sempat menemui berbagai kendala. Antara lain tidak gampang menemukan pihak keluarga yang bersedia mendonorkan 25 persen hatinya kepada pasien. Padahal, operasi i!
ni semakin berpeluang bila organ ini berasal dari pihak keluar!
ga, teru
tama orang tua pasien. Kesulitan lainnya, jelas dia, pada fase pemotongan vena dan ateri dalam hitungan milimeter dan tahapan mengambil saluran empedu. ''Karena itu, kita memerlukan ahli mikrovaskuler dalam tim pencangkokan hati ini,'' paparnya. Hati dari donor ini, imbuhnya, diperkirakan akan kembali normal sekitar sepekan hingga dua bulan pascaoperasi. Sehingga, prosesnya tidak banyak mengganggu metabolisme dalam tubuh. Pada pelaksanaan operasi, tim dari National University Hospital Singapura pun diundang untuk bekerja sama dengan tim cangkok hati dari RS dr Kariadi. Pelaksanaan operasi juga direkam oleh kamera CCTV dan menarik perhatian beberapa dokter dari pusat pendidikan lain. Menurut dr Yulanto, selama ini masyarakat Indonesia yang akan melakukan cangkok hati masih harus ke luar negeri. Mereka biasanya memilih rumah sakit seperti di Australia, Cina, atau Singapura. Padahal cangkok hati di luar negeri memerlukan biaya yang sangat mahal. Dibutuhkan dana sekitar Rp 1 h!
ingga Rp 1,5 Miliar untuk menjalani canggkok hati di Singapura. Sementara, cangkok hati di Indonesia diperkirakan menelan biaya kurang dari Rp 500 Juta. ''Tapi untuk kali ini, operasi dibiayai oleh pemerintah karena ini untuk kepentingan perkembangan pengetahuan. Termasuk pula, biaya perawatan pascaoperasi,'' kata dr Yulianto. Pasien yang menjalani operasi cangkok hati ini, harus terus mendapatkan pengawasan intensif dari tim dokter. Terutama, untuk mengetahui kemungkinan adanya reaksi penolakan dalam organ tubuhnya. Meski dinyatakan telah dalam kondisi stabil, saat ini Unggul masih harus menjalani perawatan intensif di ruang ICU RS dr Kariadi Semarang. Sementara, sang ibu yang menjadi donor telah meninggalkan ICU dan diperbolehkan pulang. Pada perawatan pascacangkok, Unggul masih harus menjalani kontrol setiap pekannya. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi seperti trombosis arteri hepatica, trombosis vena porta, komplikasi traktus biliaris, reaksi penola!
kan, serta kemungkinan terjadinya inveksi. Meski sepanjang hid!
upnya Un
ggul harus mengonsumsi terus obat takrolimus, namun kondisi ini masih jauh lebih baik. Karena, peluang hidup yang dimiliki setelah manjalani operasi mencapai 85 persen. Sementara, Prof Prabhakaran dari Singapura mengatakan bahwa operasi cangkok hati ini dapat dinyatakan sukses setelah pasien bisa menjalani kehidupan normal. Meski demikian, keberhasilan ini sudah bisa dilihat setelah kondisi pasien semakin stabil pada kurun waktu satu hingga dua bulan pascaoperasi. ''Namun demikian, prestasi medis tim dari RSDK yang telah mampu melaksanakan cangkok hati ini mendapatkan apresiasi yang tinggi dari kalangan medis di negerinya,'' ungkap Prabhakaran.
(owo )