Sabtu, 8 Maret 2003.
Pembajakan DVD Rugikan Industri Rekaman Lokal Rp 246,40 MiliarJAKARTA - Pembajakan digital video disc (DVD) tahun lalu mengakibatkan kerugian senilai US$ 28 juta (Rp 246,40 miliar dengan kurs Rp 8.800 per dolar AS) bagi industri rekaman video lokal.
Wihadi Wiyanto, Sekjen Asosiasi Industri Rekaman Video Indonesia (Asirevi) mengatakan, tingkat pembajakan di Indonesia tahun lalu memcapai 90 persen dan itu berarti hampir seluruh pasar di Indonesia dikuasai produk media optikal illegal. "Sembilan dari sepuluh produk DVD di pasar merupakan produk bajakan," kata Wihadi di Jakarta kemarin, ketika meluncurkan Kampanye DVD Rewards.
Menurut dia, nilai kerugian akibat pembajakan perangkat lunak film ini terus meningkat dari tahun ke tahun yang dimulai sejak 1995, yakni ketika produk video compact disc (VCD) masuk ke Indonesia. Akibatnya, bukan hanya industri perfilman dan video yang mengalami kerugian tetapi juga industri sinema karena masyarakat memilih membeli VCD atau DVD bajakan daripada menonton film di bioskop.
Maraknya pembajakan VCD di Tanah Air, membuat bioskop di berbagai wilayah di Indonesia banyak yang tutup, yakni dari semula ada 3.000 bioskop menjadi tinggal 600 bioskop. "Jika DVD bajakan juga marak seperti halnya VCD, bukan tidak mungkin bioskop yang bertahan nantinya tinggal 10 layar (bioskop) saja," kata Wihadi.
Wihadi menilai, salah satu penyebab maraknya VCD dan DVD bajakan ini karena para penegak hukum tidak melakukan tindakan hukum seperti yang tercantum dalam undang-undang yang ada. Sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku pembajakan hanya sebatas hukuman percobaan.
"Penegakan hukum yang berkaitan dengan masalah pembajakan di Indonesia ini tidak bisa diharapkan, karena aparat penegak hukum tidak melakukan tindakan hukum secara serius. Karena itu, Asirevi memilih mengambil langkah sendiri dengan melakukan kampanye anti pembajakan untuk mengurangi pembajakan DVD," katanya.
Sementara itu, Wakil Presiden dan Direktur Regional Asia Pasifik untuk Operasi Antipembajakan Motion Pictures Association (MPA) Michael C. Ellis mengatakan, MPA telah melakukan program kampanye antipembajakan internasional di delapan negara di Asia Pasifik seperti Indonesia, India, Korea, Malaysia, dan Singapura.
Melalui program ini, MPA tahun lalu berhasil menyita lebih dari 6 juta keping DVD bajakan di negara-negara Asia Pasifik (termasuk Indonesia) atau 87 persen dari hasil sitaan DVD bajakan di seluruh dunia.
Seperti diberitakan sebelumnya, MPA akan melakukan kampanye antipembajakan di delapan negara di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Selain Indonesia, MPA akan melancarkan antipembajakan ini akan dilakukan di India, Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Filipina.
MPA menjalankan program antipembajakan internasional pada lebih dari 65 negara. Program Antipembajakan MPA pada 2002 berhasil menyita 6,14 juta keping DVD di seluruh dunia. Sedangkan pada 2001 sebanyak 5 juta keeping DVD bajakan berhasil ditahan dari 23 ribu penggebrekan dan sekitar 96 persen hasil sitaan tersebut dibuat di kawasan Asia Pasifik.
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Masyarakat Hak atas Kekayaan Intelektual Indonesia Gunawan Suryomurcito mengungkapkan, pembajakan DVD di Indonesia merupakan kejahatan yang dilakukan secara sindikat. Pembajakan di Indonesia ini diperparah kondisi di negara-negara lain seperti Hong Kong dan Malaysia yang memperketat aturan hukum tentang pembajakan.
"Karena diperketat, para pembajak ini kemudian lari ke Indonesia dan mendirikan pabrik yang khusus memproduksi produk-produk bajakan, termasuk DVD. Kejahatan ini dilakukan secara terorganisasi sehingga sangat sulit memberantasnya," kata Gunawan kepada Koran Tempo.
Gunawan mengakui, masih lemahnya penegakan hukum menjadi penyebab sulitnya memberantas pembajakan. Selain itu, adanya persepsi yang tidak sama antarpenegak hukum serta aturan hukum di Indonesia yang dirancang untuk hukum umum, juga ikut menyebabkan sulitnya menangani masalah pembajakan.
Lemahnya penegakan hukum ini membuat para pemegang hak cipta umumnya harus aktif mengambil tindakan hukum sendiri. Aparat penegak hukum sendiri masih enggan untuk bertindak proaktif meskipun pelanggaran hak cipta termasuk delik pidana biasa.
Padahal, menurut Gunawan, akibat pembajakan tersebut yang dirugikan bukan hanya produsen lokal yang harus membayar royalti ke studio film di luar negeri, tetapi juga produsen lokal yang memproduksi film sendiri di dalam negeri. Kerugian ini bisa mengakibatkan industri perfilman kehilangan investasi dan bisa membuat masyarakat kehilangan lapangan pekerjaan. laksmi nurwandini