Friday, June 7, 2013

KoranTempo - Badai Skandal Akuntansi

Jumat, 12 Juli 2002.

Badai Skandal AkuntansiDunia kini makin sulit percaya pada kejujuran para akuntan. Skandal-skandal akuntansi yang melibatkan perusahaan-perusahaan besar Amerika seperti Enron, WorldCom, lalu menyusul Xerox dan Merck membuktikan betapa mudahnya orang menipu bermodal keindahan angka-angka akuntansi.



WorldCom contohnya telah mengembungkan keuntungannya sebesar 3,85 milyar dollar AS antara periode Januari 2001 dan Maret 2002. Sebenarnya, penipuan perusahaan telekomunikasi yang memiliki 73 ribu karyawan di berbagai penjuru itu sederhana saja. Pada tahun 2001 hingga awal 2002, perusahaan tersebut berpura-pura memasukan pos sebesar 3,9 milyar dollar AS yang sesungguhnya merupakan biaya operasi normal, tetapi dimasukkan ke dalam pos investasi. Dengan cara itu, perusahaan tersebut bisa menekan biaya selama bertahun-tahun dan hasilnya di kertas laba perusahaan itu sangat kinclong.



Kejahatan serupa dilakukan oleh perusahaan energi raksasa Enron. Enron melakukan menggembungkan keuntungan yang telah dicapainya. Hal itu terungkap ketika perusahaan itu melaporkan neraca keuangannya pada kuartal ketiga Oktober. Di laporan itu terungkap keganjilan yang membuat harga sahamnya berguguran. Regulator pasar modal AS akhirnya mengadakan investigasi terhadap perusahaan. Enron kemudian mengakui telah me-mark-up keuntungan yang telah dicapainya.



Kejatuhan Enron yang tiba-tiba itu menimbulkan pertanyaan. Mengapa akuntan publiknya, Arthur Andersen, tak mencium bau busuk? Arthur Andersen kemudian memang dinyatakan bersalah namun belum ada pejabatnya yang diadili, karena mereka naik banding.



Setelah tercoreng di kasus Enron, nama Arthur Andersen itu kena lumpur lagi kasus WorldCom. Namun auditor WorldCom di Arthur Andersen berkelit dan menuduh mantan Chief Financial Officer WorldCom, Scott Sullivan, menyembunyikan angka-angka tersebut.



Tentu saja, orang tak mudah lagi percaya pada jawaban Artur Andersen. Menurut sejumlah analis angka sebesar itu, terlalu besar untuk disembunyikan.



Belum surut kasus Enron dan WorldCom, Andersen juga tersandung pada perusahaan farmasi Merck. Perusahaan yang masuk dalam The Big Five (lima akuntan terbesar) di Amerika Serikat itu mengaudit keuangan Merck selama tiga tahun terakhir. Perusahaan farmasi kedua terbesar di AS ini menyatakan adanya kesalahan hitung pendapatan dari anak perusahaan selama tiga tahun sebesar 15 milyar dollar AS.



Skandal-skandal akuntansi itu membuat bursa saham Amerika terjun bebas. Bahkan, Presiden George W Bush sampai perlu menyampaikan menyampaikan pidato yang cukup keras terhadap kalangan pebisnis AS agar membangun etika bisnis baru dan mengusulkan hukuman yang lebih berat bagi para "penyulap angka-angka".



Kalau di negeri adidaya seperti Amerika Serikat, skandal akuntansi itu bisa terjadi, apalagi di Indonesia yang selama ini menyandang predikat sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Salah satu bukti kecil praktek "pemolesan buku" itu terungkap beberapa waktu lalu saat BPKP mengaudit 38 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Mereka menemukan kejanggalan terhadap penilaian yang dibuat oleh 10 kantor akuntan publik. Masalahanya adalah para akuntan itu memberikan penilaian wajar tanpa syarat terhadap laporan keuangan bank-bank itu. Tapi, belakangan terbukti bahwa kondisi bank-bank tersebut morat-marit dan akhirnya harus dilikuidasi.



Keanehan ini mendorong Menteri Keuangan Priyadi (saat itu) untuk meminta BPKP mengaudit kertas kerja 10 KAP. Akhirnya, pengawas para akuntan, Badan Peradilan Profesi akuntan Publik (BP2AP) menjatuhkan sanksi terhadap 10 KAP itu, namun sanksinya sangat ringan yaitu hanya dilarang beroperasi untuk sementara waktu.



Ringannya sanksi itu sempat diprotes Departemen Keuangan tidak puas. Direktur Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai Dirjen Lembaga Keuangan Depkeu Mirza Mochtar pada 17 April 2002 berkirim surat kepada Ketua Majelis Kehormatan IAI karena tidak puas dengan keputusan BP2AP. Dalam surat itu disebutkan, sanksi yang dijatuhkan pada kesepuluh KAP itu tidak mencerminkan bahwa pelanggaran yang mereka lakukan adalah pelanggaran berat.



Depkeu juga sedang menyiapkan jurus lain. Dirjen Lembaga Keuangan Darmin Nasution tengah memproses keputusan menteri (Kepmen) baru tentang KAP. Dalam draft Kepmen baru itu disebutkan Menteri Keuangan berhak melakukan pemeriksaan dan memberikan sanksi pencabutan izin bagi KAP yang melakukan pelanggaran.



Sumber harian ini juga mengungkapkan, Bank Pembangunan Asia (ADB) bahkan telah memperingatkan masalah tanggung jawab akuntan publik di Indonesia. "Hampir saja ADB membatalkan pinjaman US$350 juta hanya gara-gara lemahnya regulasi di akuntan publik," ujarnya. ADB, kata dia, saat itu meminta mekanisme transparan dalam pertanggungjawaban publik. "Kalau memang KAP itu bersalah, ya harus dihukum."



Tapi sejumlah partner dari KAP tersebut membantah mereka melakukan pelanggaran. Piet A. Simanjuntak, Office Manager Prasetio, Utomo & Co kepada Tempo News Room mengatakan, IAI sendiri secara kelembagaan menolak tuduhan bahwa 10 KAP-lah yang biang kerok. "Yang melakukan kesalahan adalah 10 auditor atau akuntannya, jadi bukan KAP," ujarnya. Selain itu, menurut dia, sejak laporan keuangan bank yang diaudit terakhir (1997) sampai dibekukannya 38 bank 13 Maret 1999, telah terjadi perubahan yang signifikan dalam perekonomian maupun perbankan.



Mantan Menkeu Bambang Subianto mengatakan bahwa akuntan melakukan audit finansial berdasarkan data-data transaksi atau data pendukung yang diberikan oleh perusahaan yang diaudit. Mereka melakukan audit mengacu pada norma-norma yang berlaku di kalangan auditor. "Jadi, kalau ada mark up, misalnya, mereka tidak bisa melihat," papar Bambang yang sekarang juga bekerja di sebuah kantor akuntan asing.



Bukankah bisa terjadi ada klien yang minta KAP untuk "mengamankan" laporan keuangannya? Menurut seorang akuntan kemungkinan itu jelas ada. Namun, Razmal Muin, seorang partner Hendrawinata & Rekan mengatakan itu muskil terjadi.



"Mungkinkah sebuah kantor akuntan publik mau mempertaruhkan nama dan izin kerjanya hanya untuk fee Rp 10 juta sampai Rp 20 juta saja untuk melakukan manipulasi?" dia balik bertanya. "Kalau untuk US$ 10 juta mungkin ada yang mau melakukannya," ujarnya. Nah!