UU Tenaga Kerja Berpihak pada PJTKI, TKI Kerap jadi Korban Kekejaman Majikan Tindak kekerasan TKW di luar negeri dalam konteks kekinian kerap menghiasi pemberitaan media. Aryatin, Buruh Migran Perempuan (BMP) asal Desa Dunggua, yang diperkosa anak majikan hingga melahirkan, menambah daftar panjang korban kekerasan TKW. Regulasi tentang ketenagakerjaan pun tidak berpihak pada TKI.
Hasruddin Laumara, Unaaha
Aryatin (25), mantan Buruh Migran Perempuan (BMP) alias TKW Indonesia asal Desa Dunggua, Kecamatan Amonggedo, Konawe salah satu dari sekian korban kekerasan majikan diluar negeri. Tak jarang, hak-hak dasar mereka sebagai manusia diamputasi. Tak hanya gaji yang tidak diberikan. Hak-hak kesehatan diabaikan majikan, TKW tidak diperbolehkan berkomunikasi dengan keluarga atau sesama TKI dan tidak diberikan hak pilih Pemilu. Tindak kekerasan pun kerap mereka alami. Penipuan dokumen, pemerkosaan, pelecehan seksual, jual beli tenaga kerja (Trafficking) menjadi teman akrab TKI ditanah rantau. Setidaknya fenomena itu yang direkam Solidaritas Perempuan (SP) Kendari. SP Kendari melihat tindak kekerasan terhadap tenaga kerja diluar negeri juga diperparah dengan lemahnya perlindungan hukum hak-hak buurh migran. Terutama perempuan. Banyak permasalahan yang dialami buruh migran, terutama BMP, mulai proses perekrutan, keberangkatan yang tidak prosedural, mekanisme kesehatan yang tidak memperhatikan hak-hak buruh migran. Dimana hasil pemeriksaan tidak disampaikan secara terbuka kepada calon buruh migran. "Banyak dari mereka yang bekerja lebih dari 12 jam sehari. Tujuh hari dalam seminggu dan tidak memperoleh makanan sehat," tulis Sarifain, Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Kendari dalam pernyataan sikapnya. "Kurangnya perhatian pemerintah dan tidak bertanggungjawabnya PJTKI dalam mengantisipasi dan menyelesaikan, menyebabkan persoalan ini selalu terulang kembali. Sangat disayangkan pemerintah RI belum serius melindungi migran kita," tambahnya. Hemat Sarifain, sesungguhnya kisah tragis itu tidak bakalan terjadi sekiranya berbagai konvensi internasional menyangkut status mereka (TKI) sebagai buruh diterapkan sungguh-sungguh. Baik dinegara asal maupun negara tujuan. "Sayangnya kemauan politik pemerintah rendah dan pertimbangan ekonomis semata," imbuhnya. Olehnya itu, SP Kendari sebagai salah satu organisasi yang melakukan pendampingan pada masyarakat bertujuan membangun gerakan politik perempuan akar rumput melawan kemiskinan. Melakukan penguatan BMP dan keluarganya untuk memperjuangkan hak-hak, hak atas kerja, hak atas kesehatan, hak atas penghidupan layak. "Penguatan SP Kendari terhadap BMP asal Desa Dunggua lebih pada perlindungan hukum hak-hak mereka sebagai BMP. Dimana sebagian besar BMP asal Desa Dunggua mengalami pelanggaran, seperti gaji tidak dibayarkan pelecehan seksual dan pemerkosaan, tidak dibolehkan berkomunikasi dengan keluarga atau sesam BMP, dijual ke majikan lain," rincinya. Untuk itu SP Kendari menyatakan sikap, mendesak pemda membuat kebijakan yang melindungi buruh migran di Sultra, mendesak pemda untuk tidak memberikan izin PJTKI yang tidak bertanggungjawab, mendesak PJTKI yang beraktifitas di Sultra untuk melakukan transparansi perekrutan sesuai peraturan dan bertanggungjawab melindungi hak-hak buruh migran yang direkrut. "Mendesak pemerintah pusat untuk menyediakan standar perlindungan buruh migran sesuai instrumen HAM dan berkeadilan gender dengan meratifikasi konvensi migran 1990," tukasnya. Senada dengan rekomendasi SP Kendari itu, Kepala Dinas Nakertrans Konawe, Masri berjanji tidak memberi kesempatan lagi kepada PJTKI (untuk memberangkatkan TKI). Tindak kekerasan terhadap TKI tidak saja dipicu PTJKI semata. Beberapa kasus, terkadang TKI menempuh jalan "dibawah tangan". "Seperti yang terjadi di Dunggua, Aryatin. Kan dia sudah kembali dari Kuwait. Dia terlantar di bandara. Pihak yang mengirim dia tidak ada hubungan (komunikasi). Nah, daripada kembali dia hubungi PJTKI yang ada di Jawa dan berangkat ke Arab Saudi melalui PT Momenson Sejahtera. Disana terjadi pemerkosaan," ujar Masri, kepada koran ini, Senin (31/1) kemarin. Untuk mengatasi hal itu, sebagai langkah awal pihaknya menghentikan PJTKI-PJTKI. Bahkan eksistensinya saat ini sedang diteliti. "Jadi rekomendasi yang dihasilkan dalam diskusi publik dengan SP Kendari di Dunggua, maka kita sekarang tidak mudah lagi memberikan rekomendasi kepada PJTKI. Jadi kita sekarang sudah seleksi dan perketat untuk memberikan rekomendasi tidak semabarangan lagi," imbuh mantan Kepala SKB Unaaha ini sembari menambahkan Pemkab Konawe hanya memberikan rekomendasi pemberangkatan TKI keluar negeri. Tetapi Dinas Nakertrans Provinsi Sultra yang memberikan izin. Hanya persoalan saat ini, calon TKI terkadang melakukan hubungan dengan PJTKI tanpa melalui prosedur. Biasanya, calon mendaftar di kantor pusat PJTKI yang ada di Jawa, bukan dikantor cabangnya yang ada di Konawe. PJTKI cabang di Konawe hanya perekrut tetapi sesungguhnya pusat PTJKI itu ada di Jawa. Sayangnya, Masri enggan memastikan pemberangkatan "dibawah tangan" itu sebagai humman trafficking. "Saya tidak mengatakan seperti itu tetapi ada beberapa kasus yang terjadi pemberangkatan TKI tidak melalui rekomendasi Nakertrans Konawe. Yang bersangkutan mendaftar di Jakarta, nanti dari sana dikirim keluar negeri. Nanti sudah bermasalah baru kembali. Saat itulah diketahui ada TKI asal Konawe yang kembali dan mengalami berbagai masalah. Karena dari awal tidak melalui proses dan perekrutan yang sebenarnya. Mereka biasanya langsung ke pusatnya PJTKI," tuturnya. Masri berjanji tahun 2011 ini pihaknya minimalisir pengiriman tenaga kerja yang tidak melalui prosedur. Setahu Masri, warga Konawe menjadi TKI mencapai 400-an pada 2010 lalu. "Yang sempat diberikan rekomendasi ke Arab umumnya perempuan dan Malaysia, umumnya laki-laki," tukasnya. Pihaknya juga akan mengumpul PJTKI dan memberikan pemahaman. Secara nasional gerakan ini berlangsung, bukan hanya Konawe. Bahkan, ratusan PJTKI di Indonesia diblack list ada pula dihentikan izinnya. Saat ini tercatat 19 PJTKI beroperasi di Konawe, tiga diantaranya masih eksis beroperasi dan aktif mengirim. "Ada masalah tetapi tidak separah yang dialami PJTKI lain," beber Masri. Menyangkut sanksi yang diberikan kepada PJTKI "nakal" dan tidak bertanggungjawab terhadap nasib TKI yang dikirimnya, baik dari proses pemberangkatan, TKI bekerja diluar negeri hingga pemulangan, Masri mengaku untuk sementara tidak memberikan rekomendasi untuk mengirim sebelum menyelesaikan tanggubjawabnya terhadap TKI. Diketahuinya, ada beberapa PJTKI yang menyelesaikan kasus pemotongan gaji TKI. PJTKI pusat mengembalikan gaji tiga TKI pada tahun 2009. Ditempat terpisah, Ketua Komisi III DPRD Konawe, Tahsan Tosepu menegaskan sikap DPRD Konawe atas tindakan kekerasan terhadap TKW. Menerutnya, pemerintah perlu membuat perda sebagai turunan UU 39.... Kata dia, hal ini perlu disikapi melalui perda sebagai bukti keseriusan Pemkab Konawe bahwa pemkab juga melindungi hak-hak perempuan yang tertindas. "Kita tidak ingin biarkan fenomena ini. Meski memang perda itu ada sisi lemahnya (nantinya) yang akan kita nilai. Karena memang juridiksi hukum itu ketika berada didaerah lain (luar negeri misalnya,red) tidak berlaku. Tetapi setidaknya didaerah kita ingin tunjukkan bahwa memang punya sikap terhadap TKI kita yang mengalami kekerasan," ujar Tahsan Tosepu, kemarin. Terkait adanya regulasi itu sesuai rekomendasi SP Kendari, pihaknya juga telah meminta Kadis Nakertrans untuk mengajukan raperda kepada DPRD dan dibahas ditingkat pansus nanti. "Jadi segera konsultasikan kepada bagian hukum untuk perda itu. Terkait perlindungan hak-hak buruh migran perempuan dengan tetap merujuk pada UU 39. Meski UU itu ada sisi lemahnya juga, karena dari sekian pasal itu hanya 18 pasal yang memuat perlindungan. Selebihnya mengatur penempatan TKI," tuturnya sembari menambahkan eksekutif dan legislatif dapat merujuk pada Karawang dan Sukabumi. Mereka memiliki perda tentang itu. Tetapi lebih pada distribusi TKI, sistem penempatan dan pengerahan TKI. "Nah, kalau kita ingin buat perda maka kita pertajam perlindungan TKW ini," tegas kader PKS ini. Menyangkut fungsi legislasi DPRD Konawe terkait regulasi melindungi TKW tanpa harus menunggu eksekutif, Tahsan membenarkan idelanya DPRD bersikap seperti itu. Hanya saja ia menunggu rekan-rekannya di DPRD Konawe. Namun ia menyarankan sebaiknya eksekutif mengajukan rancangan Perda kemudian sama-sama dibahas. Sebab, ini masalah teknis ketenagakerjaan. Tentunya leading sektornya adalah dinas Nakertrans. Disisi lain, apabila raperda ini kembalikan maka merupakan tugas baleg Konawe. Ia janji akan ajukan raperda ke baleg Konawe. Tentunya, ini bukan kerja person anggota DPRD Konawe melainakn kerja kolektif. Ia juga berjanji akan merekomendasikan Pemkab Konawe untuk menindak tegas PJTKI tidak bertanggungjawab atas kekerasan TKW/TKI oleh majikan. Setidaknya, memanggil PJTKI yang tenaga kerjanya dipekerjakan di luar negeri dan mengalami masalah. "Kalau memang mereka (TKI) hanya dijadikan komoditas kemudian PJTKI melepas mereka tanpa perlindungan karena dalam UU mengamanahkan PJTKI itu harus bertanggujawab terhadap tenaga kerja. Kalau memang tidak bertanggungjawab tidak perlu ada di Konawe, utamanya PJTKI yang hanya mengejar keuntungan. PJTKI hanya berorientasi pada uang saja, maka kita tutup saja," tandas Tahsan Tosepu. Menyangkut ada beberapa TKI yang mendaftar langsung di PJTKI pusat tanpa mengantongi rekomendasi dari Dinas Nakertrans Konawe, Tahsan Tosepu mengatakan ini akan dilakukan fungsi kontrol kuat dan nantinya ia akan berkoorinasi dengan Dinas Nakertrans Konawe untuk memberikan saja rekomendasi (pemberangkatan) pada PTJKI aktif. "Kalau itu terjadi (menjdai TKI tanpa mengantongi rekomendasi Nkaertrans) itu diluar tangguungawjab kita. Tetapi kalau itu terjadi kita tidak bisa biarkan warga kita yg cari pekerjaan diluar," ujarnya. Tahsan juga melihat ada kelemahan proses pengawasan Nakertrans Konawe terhadap PJTKI. Indikatornya, masih ada juga calon TKI yang langsung mendaftar di PJTKI pusat. "Kalau terjadi seperti itu berarti ada kelemahan. Tetapi tidak berarti kelemahan itu dibiarkan. Saya yakin, sejak rapat komisi lalu ini sudah mencuat, agar dianggarkan dana untuk mengontrol PJTKI dan TKI yang nota bene mendaftar di pusat. Disini kontrol pemerintah harus ketat. Karena ada lemahnya, terutama disisi UU itu yang menyerahkan perlindungan TKI kepada PJTKI. Peran negara tidak terlalu besar. Coba lihat pasal 82 (kalau tidak salah), perlindungan tenaga kerja itu diserahkan kepada pihak pengirim. Bukan negara. Jadi harus direvisi. Perlu ditinjau ulang," tutupnya. ***