Tuesday, June 2, 2009

Kolom: “Esai dengan Gaya”


Farid Gaban | Pena Indonesia Learning Center ---

PENGANTAR

Dalam dunia sastra, esai dimasukkan dalam kategori non-fiksi, untuk membedakannya
dengan puisi, cerpen, novel dan drama yang dikategorikan sebagai fiksi.
Membuka halaman-halaman koran atau majalah, kita akan menemukan banyak esai
atau opini. Tulisan-tulisan itu punya karakteristik sebagai berikut:
- OPINI: mewakili opini si penulis tentang sesuatu hal atau peristiwa.
- SUBYEKTIFITAS: memiliki lebih banyak unsur subyektifitas, bahkan jika tulisan
itu dimaksudkan sebagai analisis maupun pengamatan yang “obyektif”.
- PERSUASIF: memiliki lebih banyak unsur imbauan si penulis ketimbang sekadar
paparan “apa adanya”. Dia dimaksudkan untuk mempengaruhi pembaca agar
mengadopsi sikap dan pemikiran penulis, atau bahkan bertindak sesuai yang
diharapkan penulis.

Meskipun banyak, sayang sekali, tulisan-tulisan itu jarang dibaca. Dalam berbagai survai
media, rubrik opini dan editorial (OP-ED) umumnya adalah rubrik yang paling sedikit
pembacanya. Ada beberapa alasan:

- SERIUS dan PANJANG: orang mengganggap tulisan rubrik opini terlampau
serius dan berat. Para penulis sendiri juga sering terjebak pada pandangan keliru
bahwa makin sulit tulisan dibaca (makin teknis, makin panjang dan makin banyak
jargon, khususnya jargon bahasa Inggris) makin tinggi nilainya, bahkan makin
bergengsi. Keliru! Tulisan seperti itu takkan dibaca orang banyak.

- KERING: banyak tulisan dalam rubrik opini cenderung kering, tidak “berjiwa”,
karena penulis lagi-lagi punya pandangan keliru bahwa tulisan analisis haruslah
bersifat dingin: obyektif, berjarak, anti-humor dan tanpa bumbu.

- MENGGURUI: banyak tulisan opini terlalu menggurui (berpidato, berceramah,
berkhotbah), sepertinya penulis adalah dewa yang paling tahu.

- SEMPIT: tema spesifik umumnya ditulis oleh penulis yang ahli dalam bidangnya
(mungkin seorang doktor dalam bidang yang bersangkutan). Tapi, seberapa pun
pintarnya, seringkali para penulis ahli ini terlalu asik dengan bidangnya, terlalu
banyak menggunakan istilah teknis, sehingga tidak mampu menarik pembaca
lebih luas untuk menikmatinya.

KOLOM: “ESSAY WITH STYLE”
Berbeda dengan menulis untuk jurnal ilmiah, menulis untuk koran atau majalah adalah
menulis untuk hampir “semua orang”. Tulisan harus lebih renyah, mudah dikunyah,
ringkas, dan menghibur (jika perlu), tanpa kehilangan kedalaman—tanpa terjatuh
menjadi tulisan murahan.

Bagaimana itu bisa dilakukan? Kreatifitas. Dalam era kebebasan seperti sekarang,
seorang penulis dituntut memiliki kreatifitas lebih tinggi untuk memikat pembaca.
Pembaca memiliki demikian banyak pilihan bacaan. Lebih dari itu, sebuah tulisan di
koran dan majalah tak hanya bersaing dengan tulisan lain di koran/majalah lain, tapi
juga dengan berbagai kesibukan yang menyita waktu pembaca: pekerjaan di kantor,
menonton televisi, mendengar musik di radio, mengasuh anak dan sebagainya.

Mengingat “reputasi” esai sebagai bacaan serius, panjang dan melelahkan, tantangan
para penulis esai lebih besar lagi. Dari situlah kenapa belakangan ini muncul “genre”
baru dalam esai, yakni “creative non-fiction”, atau non-fiksi yang ditulis secara kreatif.

Dalam “creative non-fiction”, penulis esai mengadopsi teknik penulisan fiksi (dialog,
narasi, anekdot, klimaks dan anti klimaks, serta ironi) ke dalam non-fiksi. Berbeda
dengan penulisan esai yang kering dan berlagak obyektif, “creative non-fiction” juga
memungkinkan penulis lebih menonjolkan subyektifitas serta keterlibatan terhadap tema
yang ditulisnya. Karena memberi kemungkinan subyektifitas lebih banyak, esai seperti
itu juga umumnya menawarkan kekhasan gaya (“style”) serta personalitas si penulis.

Di samping kreatif, kekuatan tulisan esai di koran atau majalah adalah pada
keringkasannya. Tulisan itu umumnya pendek (satu halaman majalah, atau dua kolom
koran), sehingga bisa ditelan sekali lahap (sekali baca tanpa interupsi).

PENULISAN KOLOM INDONESIA
“Creative non-fiction” bukan “genre” yang sama sekali baru sebenarnya. Pada
dasawarsa 1980-an dan awal 1990-an kita memiliki banyak penulis esai/kolom yang
handal, mereka yang sukses mengembangkan “style” dan personalitas dalam
tulisannya. Tulisan mereka dikangeni karena memiliki sudut pandang orisinal dan ditulis secara kreatif, populer serta “stylist”.

Para penulis itu adalah: Mahbub Junaedi, Goenawan Mohamad, Umar Kayam, YB
Mangunwijaya, MAW Brower, Syubah Asa, Dawam Rahardjo, Abdurrahman Wahid,
Arief Budiman, Mochtar Pabottingi, Rosihan Anwar, dan Emha Ainun Nadjib.

Untuk menunjukkan keluasan tema, perlu juga disebut beberapa penulis esai/kolom lain
yang menonjol pada era itu: Faisal Baraas (kedokteran-psikologi), Bondan Winarno
(manajemen-bisnis), Sanento Juliman (seni-budaya), Ahmad Tohari (agama), serta
Jalaluddin Rakhmat (media dan agama).

Bukan kebetulan jika sebagian besar penulis esai-esai yang menarik itu adalah juga
sastrawan—penyair dan cerpenis/novelis. Dalam “creative non-fiction” batas antara fiksi dan non-fiksi memang cenderung kabur. Bahkan Bondan (ahli manajemen) dan Baraas
(seorang dokter) memiliki kumpulan cerpen sendiri. Dawam juga sesekali menulis
cerpen di koran.

Namun, pada dasawarsa 1990-an kita kian kehilangan penulis seperti itu. Kecuali
Goenawan (“Catatan Pinggir”), Bondan (“Asal-Usul” di Kompas) dan Kayam (Sketsa di
Harian “Kedaulatan Rakyat”), para penulis di era 1980-an sudah berhenti menulis
(Mahbub, Romo Mangun, Sanento dan Brower sudah almarhum).

Pada era 1990-an ini, kita memang menemukan banyak penulis esai baru—namun
inilah era yang didominasi oleh penulis pakar ketimbang sastrawan. Faisal dan Chatib
Basri (ekonomi), Reza Sihbudi, Smith Alhadar (luar negeri, dunia Islam), Wimar Witoelar (bisnis-poilik), Imam Prasodjo, Rizal dan Andi Malarangeng, Denny JA, Eep Saefulloh Fatah (politik) untuk menyebut beberapa. Namun, tanpa mengecilkan substansi isinya, banyak tulisan mereka umumnya “terlalu serius” dan kering. Eep barangkali adalah salah satu pengecualian; tak lain karena dia juga sesekali menulis cerpen.

Sementara itu, kita juga melihat kian jarang para sastrawan muda sekarang menulis
esai, apalagi esai yang kreatif. Arswendo Atmowiloto, Ayu Utami dan Seno Gumiro
Adjidarma adalah pengecualian.

Padahal, sekali lagi, mengingat “reputasi” esai sebagai bacaan serius (panjang dan
melelahkan), tantangan kreatifitas para penulis esai lebih besar lagi.

TUNTUTAN BAGI SEORANG PENULIS KOLOM
Kenapa esai astronomi Stephen Hawking (“A Brief History of Time”), observasi
antropologis Oscar Lewis (“Children of Sanchez”) dan skripsi Soe Hok Gie tentang
Pemberontakan Madiun (“Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan”) bisa kita nikmati
seperti sebuah novel? Kenapa tulisan manajemen Bondan Winarno (“Kiat”) dan artikel
kedokteran-psikologi Faisal Baraas (“Beranda Kita”) bisa dinikmati seperti cerpen?

Hawking, Lewis, Hok Gie, Bondan dan Baraas adalah beberapa penulis “pakar” yang
mampu mentrandensikan tema-tema spesifik menjadi bahan bacaan bagi khalayak yang
lebih luas. Tak hanya mengadopsi teknik penulisan populer, mereka juga menerapkan
teknik penulisan fiksi secara kreatif dalam esai-esai mereka.

Untuk mencapai ketrampilan penulis semacam itu diperlukan sejumlah prasyarat dan
sikap mental tertentu:

Keingintahuan dan Ketekunan:
Sebelum memikat keingintahuan pembaca, mereka harus terlebih dulu “memelihara”
keingintahuannya sendiri akan sesuatu masalah. Mereka melakukan riset, membaca
referensidi perpustakaan, mengamati di lapangan bahkan jika perlu melakukan
eksperimen di laboratorium untuk bisa benar-benar menguasai tema yang akan mereka
tulis. Mereka tak puas hanya mengetahui hal-hal di permukaan, mereka tekun menggali.
Sebab, jika mereka tidak benar-benar paham tentang tema yang ditulis, bagaimana
mereka bisa membaginya kepada pembaca?

Kesediaan untuk berbagi:
Mereka tak puas hanya menulis untuk kalangan sendiri yang terbatas atau hanya untuk
pembaca tertentu saja. Mereka akan sesedikit mungkin memakai istilah teknis atau
jargon yang khas pada bidangnya; mereka menggantikannnya dengan anekdot, narasi,
metafora yang bersifat lebih universal sehingga tulisannya bisa dinikmati khalayak lebih luas. Mereka tidak percaya bahwa tulisan yang “rumit” dan sulit dibaca adalah tulisan yang lebih bergengsi. Mereka cenderung memanfaatkan struktur tulisan sederhana, seringkas mungkin, untuk memudahkan pembaca menelan tulisan.

Kepekaan dan Keterlibatan:
Bagaimana bisa menulis masalah kemiskinan jika Anda tak pernah bergaul lebih intens
dengan kehidupan gelandangan, pengamen jalanan, nelayan dan penjual sayur di
pasar?

Seorang Soe Hok Gie mungkin takkan bisa menulis skripsi yang “sastrawi” jika dia
bukan seorang pendaki gunung yang akrab dengan alam dan suka merenungkan
berbagai kejadian (dia meninggal di Gunung Semeru).

Menulis catatan harian serta membuat sketsa dengan gambar tangan maupun tulisan
seraya kita bergaul dengan alam dan lingkungan sosial yang beragam mengasah
kepekaan kita. Kepekaan terhadap ironi, terhadap tragedi, humor dan berbagai aspek
kemanusiaan pada umumnya.

Sastra (novel dan cerpen) kita baca bukan karena susunan katanya yang indah
melainkan karena dia mengusung nilai-nilai kemanusiaan.

Kekayaan Bahan (resourcefulness):
Meski meminati bidang yang spesifik, penulis esai yang piawai umumnya bukan penulis
yang “berkacamata kuda”. Dia membaca dan melihat apasaja. Hanya dengan itu dia
bisa membawa tema tulisannya kepada pembaca yang lebih luas. Dia membaca apa
saja (dari komik sampai filsafat), menonton film (dari India sampai Hollywood),
mendengar musik (dari dangdut sampai klasik). Dia bukan orang yang tahu semua hal,
tapi dia tak sulit harus mencari bahan yang diperlukannya: di perpustakaan mana, di
buku apa, di situs internet mana.

Kemampuan Sang Pendongeng (storyteller):
Cara berkhotbah yang baik adalah tidak berkhotbah. Persuasi yang berhasil umumnya
disampaikan tanpa pretensi menggurui. Pesan disampaikan melalui anekdot, alegori,
metafora, narasi, dialog seperti layaknya dalam pertunjukan wayang kulit.

APA SAJA YANG BISA DIJADIKAN TEMA ESAI?
Kebanyakan penulis pemula mengira hanya tema-tema sosial-politik yang bisa laku
dijual di koran. Mereka juga keliru jika menganggap tema-tema seperti itu saja yang
membuat penulis menjadi memiliki gengsi.

Semua hal, semua aspek kehidupan, bisa ditulis dalam bentuk esai yang populer dan
diminati pembaca. “Beranda Kita”-nya Faisal Baraas menunjukkan bahwa tema
kedokteran dan psikologi bisa disajikan untuk khalayak pembaca awam sekalipun.
Ada banyak penulis yang cenderung bersifat generalis, mereka menulis apa saja.
Namun, segmentasi dalam media dan kehidupan masyarakat sekarang ini menuntut
penulis-penulis spesialis.

- Politik lokal (bersama maraknya otonomi daerah)
- Bisnis (industri, manajemen dan pemasaran)
- Keuangan (perbankan, asuransi, pajak, bursa saham, personal finance)
- Teknologi Informasi (internet, komputer, e-commerce)
- Media dan Telekomunikasi
- Seni-Budaya (film, TV, musik, VCD, pentas)
- Kimia dan Fisika Terapan
- Elektronika
- Otomotif
- Perilaku dan gaya hidup
- Keluarga dan parenting
- Psikologi dan kesehatan
- Arsitektur, interior, gardening
- Pertanian dan lingkungan

Pilihlah tema apa saja yang menjadi minta Anda dan kuasai serta ikuti
perkembangannya dengan baik. Fokus, tapi jangan gunakan kacamata kuda.