Saturday, June 1, 2013

KoranTempo - Konflik Hutu-Tutsi Berkobar Lagi

Senin, 16 Agustus 2004.

Konflik Hutu-Tutsi Berkobar LagiBUJUMBURA -- Sekelompok ekstremis suku Hutu menyerang kamp pengungsian suku Tutsi di Gatumba, dekat perbatasan Kongo dan Burundi, menewaskan sedikitnya 156 pengungsi, Sabtu (14/8) dini hari.



Ini adalah lanjutan konflik suku Hutu dan Tutsi di Afrika, yang tampaknya belum mereda. Kalau dulu, perang suku ini ditandai genosida di Rwanda yang menewaskan sedikitnya 800 ribu orang, sekarang, perseteruan kedua etnis ini melebar ke negara tetangga, Republik Demokratik Kongo dan Burundi.



Penyerangan kamp pengungsian Tutsi di Burundi ini mengejutkan banyak pihak. Terlebih, sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak.



Paramedis mengaku menyaksikan mayat-mayat korban terpotong-potong sampai sulit dikenali. Kamp pengungsian Gatunda menjadi tempat tinggal untuk sedikitnya 1.700 pengungsi Tutsi. Sebagian besar dari mereka melarikan diri dari Kongo.



Saat penyerangan terjadi, pengungsi tengah terlelap. Para penyerang dilaporkan menyerbu dengan senjata api dan parang, dan langsung membakari rumah demi rumah.



Presiden Rwanda Paul Kagame, yang beretnis Tutsi, kemarin menuduh serangan ini dilakukan sisa-sisa pengikut rezim Hutu di Rwanda 10 tahun lalu.



Ia juga menuding kelompok ekstremis Hutu di Republik Demokratik Kongo dan pemberontak Hutu di Burundi, membantu saudara satu sukunya yang berasal dari Rwanda, melakukan pembantaian.



"Saya minta masyarakat internasional menekan pemerintah Kongo agar melucuti senjata api yang masih ada di tangan kelompok militan Hutu," kata Kagame.



Jika seruannya diabaikan, pemerintah Rwanda mengancam akan menyerang basis-basis kelompok militan Hutu di Kongo. "Namun, untuk sementara ini, kami masih menahan diri," kata Menteri Luar Negeri Rwanda Charles Murigande.



Rwanda dua kali menyerang Republik Demokratik Kongo, yaitu 1996 dan 1998. Berdalih melucuti senjata kelompok militan Hutu yang melarikan diri ke negara tetangga itu, pasukan Rwanda menyeberangi perbatasan dan menguasai wilayah Kongo.



Usaha Rwanda menyerbu ibu kota Republik Demokratik Kongo--dulu bernama Zaire--dihentikan oleh pasukan Angola, Zimbabwe, dan Namibia yang ikut terjun ke kancah perang untuk membantu Kongo.



Banyaknya negara Afrika yang tertarik pada Kongo kabarnya didorong kandungan kaya mineral negara itu, terutama berlian.



Dari Addis Ababa, Uni Afrika kontan mengecam serangan ini dan meminta pelakunya segera ditangkap. Pejabat Kementerian Luar Negeri Inggris, Denis MacShane, mengimbau negara-negara yang terlibat konflik Hutu-Tutsi menyembuhkan luka-luka lama akibat perang bertahun-tahun dan mulai memikirkan perdamaian.



Sehari setelah pembantaian mengenaskan ini, Pasukan Pembebasan Nasional (NLF), satu-satunya kelompok pemberontak Hutu di Burundi, mengklaim bertanggung jawab.



Namun, juru bicara pemberontak Pasteur Habimana mengaku hanya membunuh suku Tutsi yang berseragam militer. "Kami ditembak terlebih dulu," kata dia. "Lalu mereka lari dan berlindung ke dalam kamp pengungsi," kata Habimana.



Presiden Burundi Domitien Ndayizeye berjanji akan menangkap kelompok penyerang. Namun, ia berkeras serangan itu berasal dari luar negaranya.



"Burundi telah diserang. Perbatasan kami diterobos pasukan asing Kongo dan menyerang pengungsi yang tengah mencari perlindungan pada kami," kata dia, setelah meninjau langsung lokasi pembantaian.



Presiden Republik Demokratik Kongo Joseph Kabila tak mengomentari tudingan miring kepada negaranya. Dia hanya meminta dibentuk komisi independen gabungan untuk menyelidiki pihak yang bertanggung jawab atas serangan ini.



Beberapa tahun terakhir ini, hubungan diplomatik tiga negara bertetangga di Afrika barat daya ini: Republik Demokratik Kongo, Burundi, dan Rwanda, memang tak terlalu akur.



Pemerintah Burundi menuding Kongo sengaja menampung dan melindungi buronan suku Hutu yang bertanggung jawab atas kekacauan di wilayahnya. Pemerintah Kongo balik menuding militer Burundi sedikit demi sedikit tengah mencaplok wilayah mereka di perbatasan. Di sisi lain, Rwanda dan Republik Demokratik Kongo sudah lama terlibat perang dingin setelah dua kali invasi Rwanda ke negara tetangganya itu. wahyu/afp/bbc