By Line : dedy kurniawan ---
Pffuuff….Lelaki muda itu menghembuskan nafasnya panjang-panjang. Tak lama berselang, tangannya juga menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Dengan langkah gontai, lelaki tersebut berbalik dan berjalan ke sebuah pondok tak jauh dari bangunan basecamp, lalu duduk di bale-bale yang menjadi alasnya.
Lukman Aziz, Corporate Secretary PT. Panca Logam Makmur, perusahaan pemegang hak Kuasa Penambangan Emas di Kabupaten Bombana, nampak gundah. Pekerjaan menormalisasikan daerah aliran sungai (DAS) di sekitar kawasan lahan konsesi perusahaannya seluas 1.200 meter ternyata tak semudah yang ia perkirakan.
“Awalnya kami menargetkan normalisasi DAS ini bisa diselesaikan paling lambat dua hingga tiga bulan. Faktanya, kami sudah melewati target,” katanya.
Selain luasnya kawasan yang telah rusak akibat penambangan liar (illegal mining) yang mencapai lebih dari 60 persen dari total luas lahan konsesi milik PT Panca Logam Makmur, sejumlah penambang liar juga masih melakukan aktifitas mencari emas.
Tak heran, areal yang sudah dinormalisasi tak sampai seminggu kemudian sudah diporak-porandakan lagi oleh para penambang liar.
Kondisi ini berakibat pada banyaknya sawah milik para petani di Kecamatan Rarowatu Utara yang rusak karena tidak terairi. Pasalnya, sungai Ububangka yang menjadi sumber utama pengairan sawah dan kebun mereka sudah rusak akibat aktifitas penambangan liar.
“Mau bagaimana lagi pak. Bertani atau berkebun sama saja. Tidak ada sumber air yang bisa kami gunakan. Satu-satunya jalan supaya dapur kami tetap berasap dan anak-anak kami bisa terus bersekolah, ya, menjadi penambang liar seperti ini pak. Walau kami tahu ini dilarang pemerintah,” kata Abdul Madjid, seorang petani yang mengaku sejak dua bulan terakhir terpaksa banting stir menjadi penambang emas liar.
Keberadaan para penambang liar ini juga diakui Slamet Rigay, Ketua Tim Penertiban Tambang Emas Pemerintah Kabupaten Bombana.
Menurut Slamet, pihaknya sudah berkali-kali melakukan penertiban mulai dengan cara yang halus seperti himbauan an sosialisasi bahkan hingga melakukan tindakan keras seperti pengusiran dan menyita alat-alat menambang yang digunakan para penambang liar.
“Namun hari ini kami usir, dua hari kemudian mereka masuk dan menambang lagi,” katanya kesal.
Slamet mengakui, meski telah dibantu aparat kepolisian dan TNI, upaya untuk menertibkan kawasan tambang di Kabupaten Bombana bukan perkara mudah.
Luasnya kawasan tambang emas yang harus diawasi ditambah lagi minimnya jumlah personil, merupakan kendala utama sulitnya melakukan penertiban. Belum lagi kalau bicara soal anggaran untuk membiayai operasi penertiban tersebut.
Masalahnya, tak mudah untuk menggunakan dana yang tersimpan di kas daerah Pemerintah Kabupaten Bombana. Selain harus melalui prosedur birokrasi yang berbelit, juga harus dibekali persetujuan dari para wakil rakyat di parlemen.
Kendala yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bombana ini rupanya dimanfaatkan betul oleh para penambang liar. Minimnya jumlah aparat yang menjaga pintu-pintu masuk ke lokasi tambang emas diakali oleh para penambang liar dengan memanfaatkan jalan-jalan tikus yang jumlahnya ribuan dan tersebar mulai dari Tahi Ite, Ububangka hingga SP 8.
“Para penambang liar ini juga pintar pak. Mereka sengaja menambang di lokasi-lokasi yang sulit untuk kami jangkau,” kata seorang petugas polisi yang minta namanya tak ditulis.
Slamet Rigay tak menampik banyaknya isu yang menyebut keterlibatan sejumlah pejabat yang menjadi “backing” dari para penambang liar ini. Hanya saja, untuk membuktikannya sangat susah.
“Isu itu sudah lama kami dengar tapi hanya sebatas isu saja. Pembuktiannya sangat susah,” kata Slamet.
Kabar burung soal keterlibatan oknum pejabat yang menjadi backing dari aktifitas penambangan liar ini semakin mengemuka saat Tim Penertiban Tambang Emas Bombana yang terdiri atas Pemerintah Kabupaten Bombana, polisi dan TNI, memergoki dan menangkap sejumlah penambang liar di kawasan Ububangka sekitar awal bulan Juni lalu.
Dari tangan para penambang liar ini, disita sebanyak 11 mesin penyedot lumpur yang digunakan untuk menambang emas. Saat diinterogasi, para penambang ini mencatut nama sejumlah pejabat mulai dari level Pemerintah Kabupaten Bombana hingga nama pejabat di lingkungan Polda Sulawesi Tenggara.
Setali tiga uang, baik pihak PT Panca Logam Makmur hingga Pemerintah Kabupaten Bombana agaknya satu kata terkait catut-mencatut nama pejabat yang dilakukan para penambang liar.
“Menurut saya, cara-cara yang dilakukan para penambang liar dengan mencatut nama pejabat hanyalah sekedar taktik untuk menakut-nakuti tim penertiban agar tidak menangkap dan menyita mesin-mesin serta berbagai peralatan menambang mereka. Tapi nyatanya mereka tetap ditangkap dan mesin-mesinnya tetap disita,” kata Lukman yang mengaku salut dengan berbagai upaya Pemerintah Kabupaten Bombana, kepolisian serta TNI untuk menertibkan kawasan tambang.
Keberadaan ribuan penambang liar ini di Kabupaten Bombana, seolah mengingatkan kita pada era tahun 1900-an saat eksodus ribuan bangsa Eropa ke Benua Amerika untuk mencari emas.
Tak hanya pengelolaannya yang tak jelas dan membabi-buta, perburuan emas pasca ditemukannya Benua Amerika oleh Colombus kala itu, banyak mengorbankan nyawa warga suku Indian selaku penduduk asli Benua Amerika.