TELEVISI MAKIN NIR-IDEOLOGI
Veven Sp. Wardhana
PEMBERITAAN media mengenai penganiayaan terhadap Elias Agung Setiawan
yang diduga melibatkan pembalap Ananda Mikola dan selebritas Marcella
Zalianty, yang fokusnya kemudian bergeser menjadi pemberitaan perihal
masa lampau Setiawan yang gelap bisa dijadikan cerminan pola
penayangan televisi di Indonesia: berkelok arah makin menjauhi titik
pijak awal. Pijakan awal perkara Setiawan-Mikola- Zalianty adalah
benar-tidaknya serta seberapa benarnya penganiayaan itu, dan bukan
pantas tidaknya Setiawan dikerasi lantaran masa lalunya yang mungkin
kelam.
Nyaris sejajar dengan perihal eksekusi mati trio pengebom Bali alias
Imam Samudera cumsuis, yang makin memberat pada atmosfer betapa
mengibakan nasib keluarga trio yang tak mendapat kepastian dari
pemerintah perihal hari-H eksekusi. Jika kemudian publik merasakan
pemberitaan media televisi berkait eksekusi mati itu sebagai
pengheroan atau hero(n)isasi terhadap trio pengebom – dengan term mati
syahid, misalnya – bisa saja itu bukan by design dari manajemen
redaksional jurnalistik televisi; namun penyebutan pada trio pengebom
itu secara terus menerus sebagai "Amrozi dan kawan-kawan" (bukan "Imam
Samudera dkk" atau yang satunya), hal tersebut tak semata lantaran
wajah dan postur Amrozi lebih celebritable dibandingkan dua kawannya,
namun sesungguhnya media televisi telah melalukan selebritasisasi atas
trio pengebom maut itu. Jadinya, keangkeran dan keangkaraan kinerja
trio itu jadi terselimuti oleh keselebritasan yang mau tak mau
cenderung favorable.
Favorable adalah bahasa lain bagi tingginya pemeringkatan atau rating,
yang menjadi pedoman pasti para pengelola industri televisi dan
pemasoknya: rumah-produksi dan terutama pemasang iklan. Di mana ada
rating, di situ muncul mata tayangan yang berorientasi pada yang
mendapat rating. Di mana terkalkulasi pemeringkatan yang tinggi, di
situlah berbagai mata tayangan – apapun jenisnya: kuis, sinema, news,
feature, reality show, infotainmen – akan dimodifikasikan.
Sebagai misal, saat pertama kali sinema-televisi serial Gerhana
ditayangkan, intensinya adalah kisah perihal dunia supranatural.
Mungkin karena garapannya buruk, atau mungkin jenis hiburan ala
supranatural yang agak ilmiah itu kurang nyambung dengan publik
Indonesia yang cenderung pada model-model klenik, peringkat Gerhana
tak begitu menggemberikan, kecuali ketika kemudian dibelokkan arahnya
menjadi jenis komedi situasi, yang memang mengatrol rating. Jadinya,
episode-episode lanjutannya pun mengkhianati ide awal berupa
supranatural itu. Sama dan sebangun dengan serial Wah… Cantiknya! yang
konsep awalnya adalah semacam pemujaan terhadap keanggunan dan
kecantikan salah satu sosok utama perempuannya, belakang hari, hingga
akhir hayat penayangan, isinya yang mengeksplorasi sekaligus
mengeksploitasi ke-idiot-an sosok Cecep (dimainkan Anjasmara), yang
bahkan menempatkannya sebagai sinema-televisi favorit pilihan
penonton, tak semata itung-itungan rating.
Gerhana, Wah… Cantiknya, dan pemberitaan perihal Imam Samudera dkk
serta Marcella Zalianty & seputarannya bolehlah dianggap sebagai
contoh-contoh pembelotan terhadap dan dalam diri mereka sendiri; atau
pembelotan atau pengkhianatan terhadap ide awal sebuah mata tayangan.
Sesungguhnya, pengkhianatan juga terjadi dalam konstelasi yang lebih
besar, yakni visi dan misi stasiun penyiaran televisi bersangkutan.
Awalnya, sebuah televisi menampik bersiaran musik dangdut karena
stasiun bersangkutan menempatkan diri sebagai lembaga penyiaran kelas
menengah-atas, sementara panggung dangdut dianggap tahap bawah – entah
kelas-bawah- priyayi sebagaimana didaku Rhoma Irama maupun kelas-bawah-
comberan sebagaimana ditudingkan pada tipologi Inul Daratista. Namun,
karena satu-satunya lembaga pemeringkatan menempatkan tayangan dangdut
pada posisi di atas, visi dan misi yang kadung dirancangkan itu
kemudian dikhianati sendiri, kendati awal-awalnya lewat pentas dangdut
dengan penyanyi tertentu, atau diracik dalam komposisi simfoni
orkestra, atau goyangnya diadaptasi dari balet, salsa, dan seterusnya.
Jadi, kalau ditanyakan: trend tayangan apa yang bakal muncul dalam
layar televisi Indonesia-raya tahun mendatang, sesungguhnya tak ada
trend apapun. Dengan bercermin pada siaran televisi Indonesia anno
2008, yang (tetap dan makin) ada adalah tayangan modifikasi yang makin
jauh dari ideologi. Makna modifikasi adalah: sedikit mengubah mata
acara yang sudah ada yang dianggap mampu mengatrol peringkat. Dua
macam modifikasi: resmi dan diam-diam. Modifikasi resmi adalah yang
jujur menyebutkan sebagai tayangan lisensi; modifikasi tak resmi
adalah yang cenderung dekat dengan plagiarisme.
Yang resmi maupun yang tidak, keduanya sama-sama nir-ideologi. Saat
berjibun sinema-televisi yang dibintangi para remaja yang berperan
sebagai orang dewasa, sebagai direktur atau direktris sebuah
perusahaan besar, tak pernah jelas intensi apa sesungguhnya yang
hendak disosialisasikan ke hadapan publik, kecuali semata seniperan
yang ampang, namun harus diakui yang bisa dijual adalah berderet
tampang. Berbeda misalnya dengan semi-seri-semi- serial Dunia Tanpa
Koma (2006); sebetapapun yang dijadikan fokus kisah adalah dunia
jurnalis, namun dalam sinema ini terkandung pemetaan dunia kriminal,
atau penganatomian jagad narkotika dan seputarannya.
Empat Mata yang awalnya sebagai fluidity acara talkshow yang kaku dan
kering, pada akhirnya semata menjadi ajang meledek diri sendiri yang
diimbangi ledekan yang berpercikan atmosfer sensualitas dan
seksualitas para bintang tamu yang berjenis kelamin perempuan. Jika
Empat Mata sempat dihentikan siarannya – oleh Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) – dan belakang hari muncul kembali dengan nama Bukan
Empat Mata – namun minus perubahan konsep – kemungkinannya adalah:
(Bukan) Empat Mata sedang meledek habis-habisan teguran KPI, yang
siapa tahu juga tak begitu jelas apa ideologinya. ***