Sunday, June 2, 2013

Golkar Kritisi Rekrutmen Caleg

Senin, 29 September 2008.

Golkar Kritisi Rekrutmen CalegJakarta, 29 September 2008 03:24Sejumlah kader dan fungsionaris Partai Golkar mengkritisi pola rekrutmen calon anggota legislatif (caleg) yang cenderung memosisikan partai itu hanya milik pimpinan partai dan kroni tertentu.



"Kendati sudah lewat, patut dikritisi masalah rekrutmen calon anggota legislatif di berbagai jenjang yang sarat KKN, karena pimpinan partai cenderung memperjuangkan keluarganya sendiri, serta mereka yang termasuk kroninya," ujar politisi senior Partai Golkar, Akhmad Saramat, di Jakarta, Minggu (28/9).



Hal senada juga diutarakan politisi muda Partai Golkar yang juga Sekretaris Fraksi Partai Golkar di MPR RI, Hajriyanto Yasseir Thohari, dengan mengatakan, partai berlambang pohon beringin ini milik semua, bukan pimpinan partai. "Partai Golkaradalah milik semua anggota, bahkan milik bangsa. Karena itu kami sarankan, rangkullah semua kelompok demi kebesaran Partai Golkar," tandasnya.



Jadi, lanjutnya, Partai Golkar mestinya mengembangkan semangat merangkul yang inklusifistik. "Partai Golkar harus merangkul semua kelompok yang ada. Karena itu tadi, Partai Golkar bukanlah milik pimpinan partai saja, apalagi sekedar milik Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar," tegas Hajriyanto.



Masalah ini, menurutnya, merupakan `PR` berat buat Partai Golkar, selain menghadapi sikap `khawatir` menghadapi fenomena polling (dengan hasil kurang menguntungkan bagi Partai Golkar). "Dua masalah itu harus mendapat perhatian serius. Juga kita perlu mengeritisi ihwal kecenderungan `mutul exclusion` akhir-akhir ini," ujarnya.



Karena, demikian Hajriyanto, sebagai kekuatan moderasi dan mediasi, sangatlah ironis jika kecenderungan mutual exclusion akhir-akhir ini justru menguat dalam tubuh partai.



Hal ini, lanjutnya, sekali lagi harus dihadapi dengan mengembangkan semangat merangkul yang inklusifistik. "Partai Golkar harus merangkul semua kelompok yang ada. Partai Golkar bukanlah milik pimpinan partai saja, apalagi sekedar milik Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar," tandasnya.



Akhmad Saramat secara terpisah menunjuk sejumlah kasus di berbagai daerah, khususnya di Sulawesi Utara (Sulut), yang tak saja Partai Golkar itu dikesankan hanya milik pimpinan partai, tetapi malah punyanya beberapa keluarga saja atau disebutnya sebagai partai kaum feodal.



"Saya mencatat ada enam keluarga (feodal) yang menguasai Partai Golkar di Sulut. Kalau si bapak atau si ibu jadi ketua partai, maka isteri atau suaminya jadi caleg atau didukung sebagai calon bupati atau wali kota, sementara anak dan menantu juga ikut-ikutan didukung atasnama partai untuk posisi-posisi nomor bagus di daftar caleg dan jabatan lainnya," ungkapnya.



Akhmad Saramat lantas membeberkan ke-6 keluarga `penguasa Partai Golkar` di Sulut, yakni, pertama, Jimmy Rogi (Ketua DPP I Partai Golkar Sulut), yang juga enggan melepas jabatannya sebagai Ketua DPD II Partai Golkar Kota Manado. Lalu isterinya dijadikan caleg DPR RI di nomor atas. Padahal, dirinya masih juga menjabat Wali Kota Manado.



Lalu kedua, Elly Lasut (Ketua DPD II Partai Golkar Talaud) yang juga didukung partai sebagai Bupati Talaud, tetapi kemudian `menugaskan` isterinya ikut pemilihan kepala daerah (pilkada) di kabupaten Minahasa Tenggara sembari mengabaikan kader-kader setempat dengan memakai kendaraan Partai Golkar.



Selanjutnya, ketiga, Marlina Moha (Ketua DPD II Partai Golkar Bolaang Mongondow) yang juga didukung partai sebagai Bupati Bolmong. Tak puas dengan itu, suaminya dijadikan Ketua Partai Golkar Kota Kotamobagu sekaligus Ketua DPRD setempat, sementara anaknya yang masih belia di`paksakan` sebagai caleg DPR RI bersama isteri dari Jimmy Rogi.



Keempat, Winsuw Salindeho (Ketua DPD II Partai Golkar Sangihe) yang sudah didukung menjadi Bupati Sangihe, tetapi menjadikan isteri dan keluarganya berkendaraan Partai Golkar untuk posisi pimpinan partai maupun caleg.



Kemudian, kelima, Paruntu (Ketua DPD II Partai Golkar Minahasa Tenggara), mendukung suami (mantan Rektor Universitas Sam Ratulangi) dan anaknya ikut proses pencalegan dan pilkada. Dan terakhir, keenam, Wurangian (Ketua DPD II Partai Golkar Bitung) yang `memaksakan` anak dan mantu untuk proses pencalegan.



Akibat dari kenyataan ini, lanjut Akhmad Saramat, kader dan simpatisan partai banyak yang enggan mendukung partai pemenang pemilihan umum (pemilu) tahun 2004 ini pada pemilu 2009.



"Kan buat apa mendukung Partai Golkar? Ini kan hanya untuk pemenangan kepentingan enam keluarga itu yang memperalat Partai Golkar sebagai kendaraan bagi kroni mereka semata, lalu warga lainnya tak mendapat bagian yang adil? Dan hal ini jelas mencederai demokrasi atau memperalat demokrasi serta kekuasaan partai untuk memuaskan keserakahan keluarganya," tegasnya. [EL, Ant]