Wednesday, May 7, 2008

Buah Tangan dari Sulawesi Tenggara

Bingung nyari oleh-oleh khas SULTRA? Gak usah bingung lagi… coba saja berkunjung ke showroom Dewan Kerajinan Nasional SULTRA (DEKRANAS SULTRA) di depan lorong Transito atau mungkin ke toko Souvenir Bravo di depan Hotel Imperial Wua-Wua. Oh iya, setahuku ada satu lagi cabang toko Bravo di daerah kota lama dan ada beberapa toko lain. Namun banyak diantaranya hanya menjual jenis barang tertentu saja dan tidak selengkap toko bravo ataupun showroom DEKRANAS.

Kali ini saya akan bercerita ttg kunjungan saya ke DEKRANAS beberapa minggu yang lalu. Gedungnya tidak asing lagi karena hampir setiap hari saya melewatinya. Hanya saja, baru sekarang ini saya berkesempatan mengunjunginya.Saat masuk, saya tertarik dengan bangunan kecil yang terpisah satu sama lain. Ternyata, bangunan tersebut adalah ruang khusus yang disediakan untuk para pengrajin yang melakukan aktivitasnya. Pertama, saya menjumpai dua orang ibu yang sedang membuat tenun ikat. Salah seorang penenun itu, Ibu Manihu mengatakan bahwa kegiatan menenun di DEKRANAS telah dimulai sejak tahun 1986, namun peralatan tenun mereka masih sangat sederhana seperti halnya yang digunakan oleh para penenun di daerah Masalili, Kab. Muna. Saat itu mereka mengolah kapas menjadi benang hingga menjadi kain yang dapat dipakai. Sekitar tiga tahun kemudian barulah DEKRANAS mendatangkan beberapa set ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) dan menyelenggarakan pelatihan untuk para penenunnya. Masih menurut Ibu Manihu, dengan ATBM ini mereka dapat menyelesaikan tenunan ikat sepanjang 1 meter selama 2 hari. Mereka pun tak harus mengolah kapas lagi hingga menjadi benang karena mereka dapat membeli sendiri benang dan memintalnya. Meskipun demikian, proses ini tetap terbilang cukup lama jika dibandingkan dengan mesin karena setiap kali memintal benang mereka juga harus mengatur kembali susunan benang itu agar sesuai dengan corak yang diinginkan. Melihat prosesnya yang cukup rumit, tak heran jika harga tenunan tradisional per-meternya bisa mencapai ratusan ribu.

Hasil tenunan di Masalili bercorak khas Muna yang tentu saja berbeda dengan corak Tolaki ataupun Buton. Menurut pengamatanku selama ini, ada beberapa corak tenunan Muna yang agak mirip dengan corak yang dibuat oleh para penenun di kepulauanWakatobi. Mungkin ada diantara teman-teman blogger yang tau bedanya, silahkan ditulis lebih detail tentang ragam corak tenunan SULTRA. Yah, sukur sukur jika bisa dibuat dalam bentuk dokumentasi ataupun dipatenkan agar kebudayaan kita tidak diklaim oleh pihak lain. Kita tentu tidak ingin terulang kembali kasus “Batik, lagu rasa sayang-sayange dari Maluku, Reog Ponorogo, Angklung Sunda” yang diklaim oleh negara lain sebagai ragam budaya mereka. Parahnya lagi, tempe pun sudah dipatenkan oleh negara lain. What a big looseness...

Beranjak ke ruang berikutnya, saya mendapati para pengrajin perak yang sedang rehat sejenak. Thanks God, mereka tak keberatan ditanyai mengenai beberapa hal. Menurut salah seorang pengrajin, Anto, mereka mengkhususkan pada pembuatan perhiasan seperti cincin, kalung bros dan lain-lain. Untuk pesanan khusus mereka bisa menyelesaikannya selama sekitar 4 hari dengan harga Rp 17.000/gram. Jangan takut jika anda membutuhkannya segera, karena display hasil karya mereka ada di showroom DEKRANAS.Oh iya, di showroom tersebut juga ditampilkan anyaman hagel dalam bentuk tas, topi dll. Selain anyaman dari tali hagel, SULTRA juga memiliki kerajinan khas yang disebut anyaman nentu yang berasal dari Pulau Muna. Nentu ini bisa dijadikan topi, tas, tudung saji, tempat buah dll. Selain itu, ada juga pilihan oleh-oleh lain yaitu Madu Kolaka, Mutiara Buton, Bagea Kendari, Mente dari Lombe, dan masih banyak lagi. Jepretan berikut adalah contoh kerajinan khas SULTRA di showroom DEKRANAS. They are amazing, aren’t they?